MENATA PERPUSTAKAAN DAN MENCIPTAKAN LABORATORIUM RAMAH LINGKUNGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan perpustakaan sekolah di lingkungan sekolah masih kurang mendapat perhatian. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pertumbuhan perpustakaan pada lembaga pendidikan, khususnya pada tingkat Pendidikan Menengah dan Pendidikan Dasar. Dari 175.268 unit sekolah diseluruh Indonesia, baru 12.620 sekolah yang memiliki perpustakaan. Untuk SD baru 5 % yang mempunyai perpustakaan sekolah, SMP sekitar 42% dan SMU sekitar 68% (Suara Merdeka, Rabu 9 Juni 2004). Kondisi ini menyiratkan bahwa perhatian penentu kebijakan di lingkungan sekolah belum memprioritaskan perpustakaan sekolah sebagai program sekolah yang perlu diperhatikan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar.
Mengembangkan perpustakaan sebagai sumber belajar perlu diciptakaan atmosfir sekolah yang menunjang. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah adanya pengembangan program kebiasaan membaca untuk menumbuhkan minat membaca siswa. Diharapkan penyediaan sarana untuk peningkatan kegemaran membaca siswa akan berpengaruh positif terhadap peningkatan keterampilan membaca. Keterampilan membaca dan dan kegemaran membaca memiliki hubungan yang saling mendukung. Upaya-upaya peningkatan minta membaca perlu dilakukan baik oleh guru dengan tujuan agar siswa mempunyai kemauan untuk melakukan kegiatan membaca sesering mungkin di luar kelas. Pada lingkungan sekolah perpustakaan mempunyai peran yang sangat strategis dalam hal penyediaan fasilitas untuk meningkatkan minat baca siswa. Minat dan kegemaran membaca tidak dengan sendirinya dimiliki oleh seseorang, termasuk anak-anak dalam usia sekolah. Minat baca dapat tumbuh dan berkembang dengan cara dibentuk. Dalam kaitan ini dapat kita simak teori rangsangan dan dorongan. Dorongan adalah daya motivasional yang mendorong lahirnya perilaku yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Dorongan yang dimaksud adalah motivasi tidak hanya untuk perilaku tertentu saja, melainkan perilaku apa saja yang berkaitan dengan kebutuhan dasar yang diinginkan seseorang. Dorongan-dorongan tersebut dapat muncul dari dalam diri orang tersebut atau dapat dirangsang dari luar.
Selain perpustakaan, laboratorium juga dapat menjadi sumber belajar yang efektif. Namun, di era saat ini masih sangat jarang ditemui laboratorium yang ramah lingkungan. Jumlah penduduk yang terus bertambah menuntut adanya berbagai macam usaha dan kegiatan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, sehingga diperlukan pengelolaan terhadap lingkungan yang arif dan bijaksana demi keberlangsungan makhluk hidup. Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2009, salah satu tugas dan wewenang Pemerintah Daerah adalah mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup. Unsur penting yang dapat mempengaruhi efektif dan efisien tidaknya pengelolaan lingkungan hidup di suatu negara atau daerah adalah dengan tersedia tidaknya laboratorium uji kualitas lingkungan yang mampu menghasilkan data secara kuantitatif maupun kualitatif yang valid dan reliable, tidak terbantahkan, serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah maupun secara hukum yang digunakan sebagai data monitoring kualitas lingkungan hidup.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis membuat makalah yang berjudul “Menata Perpustakaan dan Menciptakan Laboratorium Ramah Lingkungan”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana cara menata atau mengelola perpustakaan yang ideal?
2. Bagaimana menciptakan laboratorium ramah lingkungan?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk :
1. Mengatahui cara menata atau mengelola perpustakaan yang ideal.
2. Mengetahui cara menciptakan laboratorium ramah lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MENATA PERPUSTAKAAN
Secara sederhana pengertian perpustakaan adalah salah satu bentuk organisasi sumber belajar yang menghimpun berbagai informasi dalam bentuk buku dan bukan buku yang dapat dimanfaatkan oleh pemakai (guru, siswa, dan masyarakat) dalam upaya mengembangkan kemampuan dan kecakapannya. Menurut Wiryokusumo (dalam Darmono, 2004) dengan memanfaatkan perpustakaan dapat diperoleh data atau informasi untuk memecahkan berbagai masalah, sumber untuk menentukan kebijakan tertentu, serta berbagai hal yang sangat penting untuk keperluan belajar.
Jika ditilik dari pengertian tersebut, hakikat perpustakaan adalah pusat sumber belajar dan sumber informasi bagi pemakainya. Perpustakaan dapat pula diartikan sebagai tempat kumpulan buku-buku atau tempat buku dihimpun dan diorganisasikan sebagai media belajar siswa. Wafford (dalam Darmono, 2004) menterjemahkan perpustakaan sebagai salah satu organisasi sumber belajar yang menyimpan, mengelola, dan memberikan layanan bahan pustaka baik buku maupun non buku kepada masyarakat tertentu maupun masyarakat umum. Lebih luas lagi pengertian perpustakaan adalah salah satu unit kerja yang berupa tempat untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan mengatur koleksi bahan pustaka secara sistematis untuk digunakan oleh pemakai sebagai sumber informasi sekaligus sebagai sarana belajar yang menyenangkan.
Jika dikaitkan dengan proses belajar mengajar di sekolah, perpustakaan sekolah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam upaya meningkatkan aktivitas siswa serta meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran. Melalui penyediaan perpustakaan, siswa dapat berinteraksi dan terlibat langsung baik secara fisik maupun mental dalam proses belajar. Perpustakaan sekolah merupakan bagian integral dari program sekolah secara keseluruhan, dimana bersama-sama dengan komponen pendidikan lainnya turut menentukan keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran. Melalui perpustakaan siswa dapat mendidik dirinya secara berkesinambungan.
Secara umum perpustakaan sekolah sangat diperlukan keberadaanya dengan pertimbangan bahwa:
a. perpustakaan merupakan sumber belajar,
b. merupakan salah satu komponen sistem instruksional,
c. sumber untuk menunjang kualitas pendidikan dan pengajaran,
d. sebagai laboratorium belajar yang memungkinkan siswa dapat mempertajam dan memperluas kemampuan untuk membaca, menulis, berpikir dan berkomunikasi.
Jika dikaitkan dengan pengertian sumber belajar, maka perpustakaan merupakan salah satu dari berbagai macam sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah.
Mengacu pada definisi sumber belajar yang diberikan oleh Association for Education Communication Technology (AECT) maka pengertian sumber belajar adalah berbagai sumber baik itu berupa data, orang atau wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar baik yang digunbakan secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajarnya.
Ditinjau dari segi pendayagunaan, AECT membedakan sumber belajar menjadi dua macam yaitu:
a. sumber belajar yang dirancang atau sengaja dibuat untuk digunakan dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Sumber belajar yang dirancang tersebut dapat berupa buku teks, buku paket, slide, film, video dan sebagainya yang memang dirancang untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran tertentu,
b. sumber belajar yang tidak dirancang atau tidak sengaja dibuat untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran. Jenis ini banyak terdapat disekeliling kita dan jika suatu saat kita membutuhkan, maka kita tinggal memanfaatkannya. Contoh sumber belajar jenis ini adalah tokoh masyarakat, toko, pasar, museum.
Mengacu pada definisi AECT tentang sumber belajar, maka sumber belajar jenis pertama yaitu sumber belajar yang sengaja dibuat untuk membantu pencapaian tujuan belajar perlu disimpan untuk didayagunakan secara maksimal. Penyimpanan berbagai sumber belajar tadi ditempatkan dan diorganisasikan di perpustakaan. Dengan demikian maka perpustakaan merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan di lingkungan berbagai lembaga, termasuk sekolah guna membantu tercapainya setiap upaya pembelajaran.
1. Kelembagaan Perpustakaan Sekolah
Sebenarnya yang paling hakiki dari perpustakaan adalah bagaimana menciptakan kondisi di sekolah melalui perpustakaan agar dapat membantu warga sekolah dalam proses belajar mengajar. Lebih jauh diharapkan perpustakaan sekolah dapat menciptakan atmosfir sekolah yang kondousif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Melalui perpustakaan sekolah dapat mendorong tumbuhnya daya kreasi dan imajinasi anak melalui berbagai bacaan yang tersedia di perpustakaan.
Untuk bisa menciptakan kondisi tersebut kelembagaaan perpustakaan sekolah haruslah dapat mendukung peran dan tugas yang harus diembanggnya. Secara umum kelembagaan perpustakaan sekolah masih mengalami kendala yang disebabkan berbagai faktor sebagai berikut:
a. Belum dipikirkannya posisi pepustakaan sekolah sebagai unit yang strategis dalam menunjang proses pembelajaran di sekolah.
b. Minimnya dana operasional pengelolaan dan pembinaan perpustakaan sekolah,
c. Terbatasnya sumber daya manusia, dan bahkan amat terbatasnya sumber daya manusia yang mampu mengelola perpustakaan serta mengembangkannnya sebagai sumber belajara bagi siswa dan guru,
d. Lemahnya koleksi perpustakaan sekolah. Pada umumnya perpustakaan sekolah terdiri dari buku pelajaran yang merupakan droping dari pemerintah,
e. Minat baca siswa yang masih belum menggembirakan, walaupun pemerintah telah mencanangkan berbagai program seperti bulan buku nasional, hari aksara, wakaf buku dan sebagainya,
f. Kepedulian penentu kebijakan terhadap perpustakaan masih kurang, bahkan keberadaan perpustakaan hanya sebagai pelengkap,
g. Masih kurangnya sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk dalam hal ini adalah ruang perpustakaan sekolah.
h. Belum adanya jam perpustakaan sekolah yang terintegrasi dengan kurikulum,
i. Kegiatan belajar mengajar belum memanfaatkan perpustakaan secara maksimal dalam arti guru “tidak terlalu sering” memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terkait dengan pemanfaatan perpustakaan sekolah.
Untuk mengatasi masalah tersebut perpustakaan memang perlu mendapat perhatian. Sekolah perlu melakukan berbagai upaya agar perpustakaan dapat berjalan paling tidak sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Standar yang telah dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional memang perlu dijadikan acuan. Namun itu semua perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah. Ada beberapa cara mengatasi atau boleh dikatakan menyiasati dari kondisi yang kurang mendukung. Misalnya masalah ruangan perpustakaan dan tenaga pengelola. Dengan segala keterbatasanya, banyak sekolah yang telah memiliki fasilitas ruang perpustakaan, namun juga banyak sekolah yang belum memiliki ruangan perpustakaan. Untuk mengatasi masalah belum adanya ruang perpustakaan, koleksi di pindahkan ke kelas yang mencerminkan kebutuhan kelas dan dibawah pengawasan wali kelas. Pada kondisi ini diperlukan kedisiplinan administrasi agar buku dapat dikontrol setiap saat. Siapa yang meminjam dan kapan harus kembali. Konsep perpustakaan kelas sudah diterapkan di beberapa sekolah yang tidak memiliki ruangan perpustakaan. Masalah dana misalnya, dapat diatasi dengan mengadakan kerjasama dengan Komite Sekolah. Pengalaman kami ketika melakukan pembinaan perpustakaan sekolah dasar di Malang – Jawa Timur, hal tersebut kami terapkan. Kita perlu mengadakan pendekatan dengan Komite Sekolah dan menyampaikan program-program sekolah termasuk didalamnya adalah program pengembangan perpustakaan. Perpustakaan perlu mendapat dukungan dana tetap dari Komite Sekolah sehingga koleksinya dapat ditambah setiap periode tertentu. Tanpa ada penyegaran koleksi perpustakaan menjadi kering dan kurang menarik minat siswa untuk datang dan memanfaatkannya.
Beberapa pakar bidang perpustakaan mengatakan mendirikan perpustaakaan itu mudah, tetapi untuk menjaga kelangsungnya diperlukan kerja serius dengan program yang jelas dan terarah. Karena dalam pelaksanannya banyak tantangan dan itu harus diatasi agar perpustakaan terus dapat berfungsi sebagai sumber belajar.
2. Strategi Pengembangan Perpustakaan
Sekolah Melihat fungsi perpustakaan yang demikian penting dan melihat kenyatan bahwa pengelolaan perpustakaan sekolah belum berjalan dengan baik, untuk itu diperlukan srategi pengembangan perpustakaan sekolah dengan baik. Tentunya pengembangan perpustakaan sekolah harus berangkat dari inisiatif sekolah itu sendiri.
Adapun pengembangan perpustakaan sekolah meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Status organisasi, perlu ada pemantapam status organisasi atau kelembagaan perpustakaan sekolah,
b. Pembiayaan, perlu adanya anggaran yang memadahi yang dapat digunakan untuk operasional perpustakaan sekolah,
c. Gedung dan atau ruang perpustakaan, perlu ada ruangan yang representatif sehingga keberadaan perpustakaan sekolah mampu menunjang kegiatan KBM di sekolah,
d. Koleksi bahan pustaka, koleksi bahan pustaka perlu disesuaikan dengan kebutuhan minimun sekolah yang mengacu pada kurikulum dan kegiatan ekstra kurikuler si sekolah.
e. Peralatan dan perlengkapan, perlu disesuiakn dengan kebutuhan perpustakaan sekolah sehingga perpustakaan dapat berjalan dengan baik
f. Tenaga perpustakaan, mempunyai kualifikasi yang memadahi untuk pengelolaan perpustakaan sekolah.
g. Layanan perpustakaan, disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Jika mungkin ada layanan diluar jam-jam belajar siswa, sehingga siswa dapat memanfaaatkan perpustakaan dengan baik.
h. Promosi, perlu dilakukan dengan berbagai cara agar perpustakaan menarik bagi siswa.
3. Peluang Pengembangan Perpustakaan Sekolah
Dari berbagai jenis perpustakaan memang perpustakaan sekolah paling banyak mendapat sorotan, karena dinilai oleh banyak pihak masih perlu mendapat perhatian. Hal senada pernah dinyatakan oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI bahwa perpustakaan sekolah perlu mendapat perhatian dari pihak yang berkompeten, karena secara umum keberadaanya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Sebenarnya peluang untuk lebih memberdayakan perpustakaan telah terbuka.
Beberapa kondisi yang saat ini dapat mendukung pengembangan perpustakaan sekolah telah ada seperti:
a. Adanya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merupakan dasar pijkakan kita dan memungkinkan semua lembaga pendidikan formal didukung oleh sarana dan prasarana (termasuk perpustakaan),
b. Adanya Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
c. Pemberlakuan kurikulum Tahun 2006 tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KTASP) yang menuntut guru untuk mengembangkan indikator pembelajaran sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Untuk iu sekolah perlu didukung dengan perpustakaan secara memadai.
d. Adanya metode pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Dalam metode ini siswa dituntut untuk mengembangkan, dan memperdalam sendiri materi yang telah disampaikan oleh guru. Dalam kondisi ini maka peran perpustakaan sangat besar untuk membantu siswa dalam memperkaya kasanah pengetahuannya,
e. Adanya kebijakan permerintah untuk menggalakkan minat baca dengan mengambil even-even tertentu seperti tanggal 2 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional dan sekaligus sebagai even bulan buku, tanggal 14 September sebagai hari Aksara Internasional, momentum ini sekaligus dimanfaatkan sebagai bulan gemar membaca dan hari kunjung perpustakaan, 28 Oktober sebagai hari Sumpah Pemuda dan sekaligus bulan bahasa. Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan perpustakaan, Momen ini sangat baik untuk kegiatan promosi dan pemasyarakatan perpustakaan serta pengembangan minat baca siswa,
f. Kebijakan pemerintah/pemerintah daerah untuk memberikan subsidi buku baik buku pelajaran maupun buku bacaan kepada setiap sekolah,
g. Tumbuhnya berbagai partisipasi masyarakat yang berkaitan dengan minat baca, perbukuan, dan perpustakaan, seperti Gerakan Waqaf Buku, Kelompok Masyarakat Pecinta Buku (KMPB), Klub Perpustakaan, dan Kelompok Pecinta Bacaan Anak. Jika perpustakaan sekolah akan difungsikan sebagai penunjang proses belajar siswa, maka perlu ada upaya untuk lebih mendayagunakan perpustakaan tersebut.
Berikut ini beberapa cara untuk lebih memberdayakan keberadaan perpustakaan di lingkungan sekolah:
a. perlu upaya untuk menciptakan “penguatan kelembagaan” terhadap perpustakaan sekolah,
b. perlunya diciptakan pengajaran yang terkait dengan pemanfaatan fasilitas yang tersedia di perpustakaan,
c. perlu upaya melibatkan guru dalam pemilihan koleksi perpustakaan yang akan dibeli, sehingga guru tahu koleksi yang demiliki perpustakaan,
d. promosi dan pemasyarakatan perpustakaan dengan mengambil even-even khusus seperti pada hari peringatan nasional,
e. perlu diupayakan adanya jam belajar di perpustakaan, sehingga siswa terbiasa memanfaatkan perpustakaan,
f. perlunya pemberian rangsangan kepada siswa agar termotivasi untuk memanfaatkan perpustakaan, misalnya penghargaan terhadap siswa yang meminjam buku paling banyak dalam kurun waktu tertentu.
4. Perpustakaan Sekolah Yang Ideal
Perpustakaan sekolah yang baik memang bersifat relatif, namun demikian bukan berarti kriteria tersebut tidak bisa dirumuskan sama sekali. Sifat relatif ini disebabkan oleh kondisi dari sekolah yang sangat beragam. Ada sekolah yang mempunyai sarana yang lengkap sedangkan pada sisi lain masih ada sekolah yang sarana pendukungnya kurang lengkap.
Berikut ini beberapa kriteria dari "perpustakaan sekolah yang ideal" yang dapat berfungsi sebagai sumber belajar siswa secara memadai.
a. adanya status kelembagaan yang kuat dari perpustakaan,
b. struktur oraganisasi perpustakaan jelas dan berjalan dengan baik,
c. memiliki ruangan yang memadai sesuai dengan jumlah siswa, bersih, dan penyinaranya cukup,
d. memiliki tempat baca yang memadai,
e. miliki perabot perpustakaan secara memadai,
f. partisipasi pemakainya (siswa dan guru) baik dan aktif,
g. jenis koleksinya mencerminkan komposisi yang baik antara buku teks dengan buku fiksi, yaitu 40% untuk buku teks, 30% buku-buku pengayaan, dan 30% buku fiksi serta judul buku yang dimiliki bervariasi,
h. koleksi yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan kurikulum sekolah,
i. memiliki tenaga pengelola dengan kompetensi yang memadai,
j. pengorganisasian koleksinya teratur,
k. didukung dengan teknologi informasi dan komunkasi
l. administrasi perpustakaanya tertib yang meliputi administrasi keanggotaan, administrasi inventaris buku dan perabot, peminjaman, penyusutan, penambahan buku, statistik peminjaman,
m. memiliki sarana penelusuran informasi yang baik
n. memiliki peraturan perpustakaan,
o. memiliki program pengembangan secara jelas dan terarah,
p. memiliki program keberaksaraan informasi (literasi infomasi)
q. memiliki program pengembangan minat membaca dikalangan siswa,
r. memiliki program mitra perpustakaan,
s. melakukan kegiatan promosi dan pemasyarakatan perpustakaan,
t. kegiatan perpustakaan terintegrasi dengan kurikulum dan kegiatan belajar,
u. memiliki anggaran perpustakaan secara tetap,
v. adanya kerjasama dengan sekolah lain,
w. pelayanannya menyenangkan,
x. ada jam perpustakaan sekolah yang terintegrasi dalam kurikulum.
Parameter di atas tentunya tidak bisa diterapkan disemua sekolah, karena masingmasing sekolah kondisinya tidak sama.
Dengan parameter tersebut pihak sekolah dapat mengembangkan perpustakaan sekolah secara ideal.
5. Pengembangan Kebiasaan Membaca melalui Perpustakaan Sekolah
Untuk mengembangkan perpustakaan sebagai sumber belajar perlu diciptakaan atmosfir sekolah yang menunjang. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah adanya pengembangan program kebiasaan membaca untuk menumbuhkan minat membaca siswa. Diharapkan penyediaan sarana untuk peningkatan kegemaran membaca siswa akan berpengaruh positif terhadap peningkatan keterampilan membaca. Keterampilan membaca dan dan kegemaran membaca memiliki hubungan yang saling mendukung. Upaya-upaya peningkatan minta membaca perlu dilakukan baik oleh guru dengan tujuan agar siswa mempunyai kemauan untuk melakukan kegiatan membaca sesering mungkin di luar kelas.
Pada lingkungan sekolah perpustakaan mempunyai peran yang sangat strategis dalam hal penyediaan fasilitas untuk meningktkan minat baca siswa. Minat dan kegemaran membaca tidak dengan sendirinya dimiliki oleh seseorang, termasuk anak-anak dalam usia sekolah. Minat baca dapat tumbuh dan berkembang dengan cara dibentuk. Dalam kaitan ini dapat kita simak teori rangsangan dan dorongan. Dorongan adalah daya motivasional yang mendorong lahirnya perilaku yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Dorongan yang dimaksud adalah motivasi tidak hanya untuk perilaku tertentu saja, melainkan perilaku apa saja yang berkaitan dengan kebutuhan dasar yang diinginkan seseorang. Dorongan-dorongan tersebut dapat muncul dari dalam diri orang tersebut atau dapat dirangsang dari luar. Memperhatikan asal dari dorongan untuk berperilaku, dapat diprediksikan bahwa minat dan kegemaran membaca itu timbul dalam diri anak maupun dari orang-orang lain di lingkungan sekitar.
Oleh sebab itu upaya untuk mengangkat program peningkatan minat dan kegemaran membaca perlu melibatkan unsur-unsur berikut ini:
a. anak didik pada semua jenjang SD, SLTP, SLTA,
b. guru sekolah, kepala sekolah, pengawas sekolah,
c. sekolah dengan berbagai program kegiatan yang dapat menunjang pengkondisian tumbuhnya minat dan kegemaran membaca,
d. orang tua di rumah,
e. lingkungan masyarakat di luar sekolah dan rumah,
f. lembaga-lembaga masyarakat yang berminat terhadap pengembangan minat dan kegemaran membaca, misalnya dengan mendirikan pondok baca,
g. pemerintah melalui berbagai program yang dikembangkan, seperti adanya kegiatan bulan buku nasional pada setiap bulan Mei, hari Aksara Internasional pada setiap bulan September, hari kunjung perpustakaan yang jatuh pada bulan September, kegiatan tersebut bisa dikaitkan dengan pembinaan minat dan kegemaran membaca.
Motivasi yang berasal dari anak merupakan dorongan yang bersifat internal, sedangkan dorongan dari pihak lainnya bersifat eksternal. Dengan kata lain bila akan merumuskan strategi peningkatan minat dan kegemaran membaca anak didik maka dua model strategi tersebut patut dipertimbangkan, yaitu model strategi yang didasarkan pada motivasi internal dan model yang digerakkan oleh motivasi eksternal. Sekurang-kurangnya terdapat tiga dimensi pengembangan minat dan kegemaran membaca yang perlu dipertimbangkan yaitu:
a. Dimensi edukatif pedagogik Dimensi ini menekankan tindak-tindak motivasional apa yang dilakukan para guru di kelas, untuk semua bidang studi yang akhirnya para siswa tertarik dan memiliki minat terhadap kegiatan membaca untuk tujuan apa saja. Paradigma pengajaran saat ini adalah berpusat pada anak didik, maka pengembangan minat baca hendaknya dimulai dari aktivitas belajar sehari-hari di kelas.
b. Dimensi sosio kultural Dimensi ini mengandung makna bahwa minat baca siswa dapat digalakkan berdasarkan hubungan-hubungan sosial dan kebiasaan anak didik sebagai anggota masyarakat. Misalnya dalam masyarakat paternalistik, orang tua atau pemimpin selalu menjadi panutan. Dalam hal ini jika yang dijadikan panutan memiliki minat baca maka dapat diprediksi bahwa anak juga dengan sendirinya terbawa situasi tersebut, artinya anak akan memiliki sikap dan kegemaran membaca.
c. Dimensi perkembangan psikologis Anak usia sekolah pada jenjang SD/SMP/SMU merupakan usia anak praremaja. Tahap pertengahan masa anak-anak didominasi dengan fungsi pengamatan, fungsi rasa ingin tahu yang cukup kuat. Pada masa ini perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh dalam upaya memotivasi kegemaran membaca siswa.
Pengamatan membaca yang jitu biasanya melalui ilustrasi gambar. Penalaran intelektual mudah dirangsang melalui diskripsi yang dikotomis, argumentasi yang menggugah. Peran perpustakaan sangat sentral dalam membina dan menumbuhkan kesadaran membaca. Kegiatan membaca tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan tersedianya bahan bacaan yang memadai baik dalam segi jumlah maupun dalam kualitas bacaan. Pada aspek lain minat baca senantiasa perlu dikembangkan. Di lingkungan anak usia sekolah usaha pengembangan minat baca dapat dilakukan dengan prinsip jenjang dan pikat. Prinsip pertama perlu adanya usaha untuk memikat pengguna untuk mulai menyenangi kegiatan membaca. Prinsip kedua perlu ada upaya untuk mengkondisikan perlunya penyediaan meteri bacaan yang sesuai dengan perkembangan anak yang dapat memperkuat minat baca anak, yang senantiasa terus mendorong anak untuk maju menuju pada kegiatan membaca yang berkualitas. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kegemaran membaca siswa melalui perpustakaan adalah:
a. Menyediakan bahan bacaan yang diminati siswa, yang sesuai dengan keragaman tingkat perkembangan anak.
b. Menjadikan perpustakaan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa melalui penataan yang bagus, dengan pelayanan yang ramah,
c. Membuat promosi dan kegiatan pengembangan minat dan kegemaran membaca dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah,
d. Memberikan tugas tambahan kepada siswa di luar kelas. Pemberian tugas tambahan ini tentunya berkaitan dengan terbatasnya jam pelajaran di dalam kelas. Oleh sebab itu guru sebaiknya senantiasa mendorong siswa untuk lebih banyak membaca di luar jamjam sekolah (di rumah). Tugas membaca dapat dipantau dengan membuat laporan, resensi buku, atau membuat laporan garis besar isi buku yang telah dibacanya (sinopsis) dengan memanfaatkan bacaan yang tersedia di perpustakaan,
e. Tersedianya waktu bagi siswa untuk berkunjung ke perpustakaan baik secara perseorangan maupun klasikal yang sekaligus merupakan jam belajar di perpustakaan.
f. Mengintegrasikan perpustakaan dalam kegiatan belajar mengajar.
B. MENCIPTAKAN LABORATORIUM RAMAH LINGKUNGAN
Terdapat sejumlah definisi tentang laboratorium, antara lain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa laboratorium merupakan tempat atau lainnya yang dilengkapi dengan peralatan untuk mengadakan percobaan dan sebagainya (Tim Penyusun Kamus, 1994). Laboratorium adalah merupakan suatu tempat dimana percobaan dan penyelidikan dilakukan. Tempat yang dimaksudkan dapat merupakan suatu ruangan tertutup, kamar atau ruangan terbuka, kebun misalnya. Secara terbatas, laboratorium dapat dipandang sebagai suatu ruangan yang tertutup dimana suatu percobaan dan penyelidikan dilakukan (Depdikbud, 1997), sedangkan Occupation Safety and Health Administration (OSHA) pada tahun 1990 mendefinisikan laboratorium merupakan sebuah fasilitas dimana terjadi penggunaan sejumlah bahan kimia berbahaya dengan kuantitas yang relatif sedikit dan bertujuan bukan untuk produksi (OSHA, 2011).
Umumnya ruangan dalam hal ini adalah tempat berlangsungnya kegiatan pembelajaran secara praktek yang memerlukan peralatan khusus yang tidak mudah dihadirkan di ruang kelas.
Salah satu laboratorium yang dipersyaratkan dalam standar sarana dan prasarana SMP/MTs secara eksplisit disebutkan Laboratorium IPA. Laboratorium IPA merupakan salah satu fasilitas sekolah dimana guru dan siswa melakukan kegiatan pembelajaran IPA melalui praktikum dimana kegiatan ini sangat penting untuk mengembangkan pendekatan saintifik sesuai dengan Kurikulum 2013. Laboratorium IPA juga memiliki peranan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan alam yang berkembang sangat pesat saat ini sebagai modal untuk mengembangkan kompetensi peserta didik dalam menghadapi tantangan kehidupan di masa depan. Dengan demikian, laboratorium IPA memiliki peran yang sangat strategis dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM) IPA dengan melalui pelaksanaan kegiatan praktikum untuk mewujudkan tujuan pendidikan yakni pribadi yang utuh yang memahami dan trampil.
1. ISO/IEC 17025 dan Good Laboratory Practice
ISO/IEC 17025 adalah standar internasional untuk sistem kualitas dalam pengujian dan kalibrasi laboratorium yang digunakan sebagai dasar untuk akreditasi laboratorium (Huber, 2009). Dengan akreditasi ISO/IEC 17025, laboratorium mampu memperagakan kemampuannya dalam hal penerapan sistem manajemen mutu, secara teknis kompeten dan mampu menyajikan hasil yang absah secara teknis (Hadi, 2007).
Menerapkan ISO/IEC 17025 sebagai bagian dari insiatif mutu laboratorium memberikan manfaat bisnis antara lain, memiliki akses ke kontrak/kerjasama lebih luas untuk pengujian karena banyak organisasi publik dan swasta hanya memberikan kontrak kepada laboratorium yang telah terakreditasi, peningkatan reputasi secara nasional dan global akan citra laboratorium, meningkatkan kualitas data dan efektifitas laboratorium secara terus-menerus serta memiliki dasar untuk banyak sistem mutu lainnya yang berkaitan dengan laboratorium seperti Good Manufacturing Practice dan Good Laboratory Practice.
Penerapan ISO/IEC 17025 pada sebuah laboratorium memiliki arti yang lebih luas dalam hal dokumentasi, selain menghilangkan keraguan pada penerapan Good Laboratory Practice (GLP) dengan menggunakan analisa yang berkualitas, memeriksa kinerja peralatan yang digunakan untuk pengujian dan memvalidasi metode analisis, juga memerlukan dokumentasi resmi untuk hampir segala kegiatannya (Huber, 2009).
OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) pada tahun 1981 telah menetapkan bahwa terhadap data yang dihasilkan dari pengujian kimia harus diterima antar negara anggota OECD jika pengujian tersebut telah sesuai dengan pedoman dan pengujian serta prinsip GLP untuk menghindari duplikasi pengujian, sehingga hemat dari segi biaya dan waktu, mengurangi limbah laboratorium serta meningkatkan perlindungan terhadap manusia dan lingkungan (Hadi, 2007).
2. Manajemen Limbah Laboratorium
Dalam Prudent Practice Laboratory (National Research Council, 2011) laboratorium lingkungan menghasilkan limbah berbahaya dan mengandung berbagai kombinasi bahan kimia. Pengelolaan limbah dengan penuh kehati-hatian diperlukan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan semua pekerja laboratorium yang menangani, memproses, menyimpan serta membuang limbah untuk meminimalkan potensi bahaya terhadap manusia dan lingkungan. Adanya potensi berbagai dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan, membuat laboratorium mempunyai tanggung jawab untuk mengurangi konsekuensi lingkungan dari aktivitasnya (Lopez dan Badrick, 2012) sehingga jelas bahwa setiap laboratorium harus mengembangkan program pengelolaan limbah yang komprehensif untuk memastikan penanganan dan pembuangan limbah yang aman. Dalam hal ini, laboratorium harus mengikuti serangkaian praktik minimisasi limbah yang berlaku umum agar kepatuhan lebih mudah untuk dicapai, mengurangi biaya yang berhubungan dengan limbah, dan meminimalkan dampak lingkungan dengan memperhatikan kualitas dan ketelitian dari sistem pengelolaan limbah, prinsip good housekeeping dan penggunaan material yang efisien (Stricoff dan Walters, 1995). Menurut American Public Health Association, American Water Works Association, Water Environment Federation pada tahun 1999, minimisasi limbah atau pencegahan polusi merupakan pendekatan yang lebih disukai dalam pengelolaan limbah laboratorium, dilihat dari segi ekonomi menguntungkan sebab mengurangi biaya dan kewajiban yang terkait dengan pembuangan limbah sekaligus untuk memenuhi persyaratan peraturan. Sebelumnya pada tahun 1990 terbit Pollution Prevention Act (PPA) yang ditandatangani oleh Presiden George Bush dan dikenal sebagai hirarki pengelolaan limbah (US EPA, 1995) dengan pencantuman unsur hirarki sesuai urutan prioritas (National Research Council, 2011) sebagai berikut :
a. Source reduction, pencemaran harus dicegah atau dikurangi dari sumbernya jika memungkinkan.
b. Recycling, pencemaran yang tidak dapat dicegah harus didaur ulang dengan cara yang ramah lingkungan bila memungkinkan.
c. Treatment, pencemaran yang tidak dapat dicegah atau didaur ulang harus ditangani dengan cara yang ramah lingkungan bila memungkinkan.
d. Disposal, pembuangan atau pelepasan ke lingkungan digunakan hanya sebagai upaya terakhir dan harus dilakukan dengan cara yang aman.
Gambar 2.2. Tingkatan pengelolaan limbah, sumber : Turang, 2006 adaptasi UIUC Chemical Waste Management Guide.
Hirarki manajemen limbah digambarkan (gambar 2.2) oleh Turang (2006) dengan mengutip UIUC Chemical Waste Management Guide, menunjukkan metode yang dapat ditempuh serta sesuai dengan pengelolaan limbah bahan kimia berbahaya di laboratorium.
Tingkatan paling atas merupakan pilihan yang sering dipakai manajemen laboratorium yaitu dengan cara mengurangi jumlah bahan kimia yang berpotensi menjadi limbah sejak dari proses perencanaan pembelian dan pengadaan bahan tersebut untuk mengurangi polusi akibat limbah bahan kimia. Namun tidak semua jenis bahan kimia dapat dikurangi jumlahnya pada proses di laboratorium, sehingga tingkatan yang berada dibawahnya diharapkan dapat menjadi solusi bagi pengelola, demikian seterusnya sampai pada suatu kondisi dimana bahan kimia tersebut harus dibuang sebagai limbah melalui saluran pembuangan, landfill, insenerator atau ke udara atmosfer.
Tingkatan terbawah ini kurang disukai bagi pengelola laboratorium yang ingin tetap memelihara lingkungan. Wisconsin-Madison University Safety Department (2002) menerbitkan Pollution Prevention and Waste Minimization yang mengemukakan konsep green laboratory yang didesain untuk mengurangi polusi yang ditimbulkan oleh laboratorium dan merupakan desain pengembangan dan penerapan pada proses dan produk kimia yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan dan generasi zat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan untuk meminimalkan dampak lingkungan dari operasional sebuah laboratorium.
Pencegahan pencemaran dengan mengurangi polusi dari sumbernya dapat dilakukan dengan (1) modifikasi proses, (2) perbaikan operasional, (3) substitusi bahan, (4) modifikasi produk. Selain itu dalam Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater APHA (1999) mengatakan bahwa perbaikan prosedur, dokumentasi yang baik serta pelatihan laboratorium dapat meningkatkan kesadaran minimisasi limbah dan praktik pembuangan yang tepat. American Chemical Society (ACS) (2002) dalam Less is Better menguraikan konsep minimisasi limbah yang dapat diadopsi oleh laboratorium yaitu:
a. buy less : hanya membeli bahan kimia dan jumlah yang dibutuhkan dalam kurun waktu tertentu, menurut APHA (1999) mengacu pada Ashbrook dan Reinhardt (1985) pembelian dalam jumlah besar terlihat lebih ekonomis, namun pembuangan materi di masa yang akan datang serta kemungkinan kedaluwarsa juga harus dipertimbangkan,
b. store less : menyimpan bahan kimia berlebihan dapat meningkatkan risiko kebakaran, tumpahan dan kebocoran, bahkan beberapa bahan kimia dapat menjadi reaktif dan meledak karena usia. Menurut APHA (1999) merujuk pada Pine (1984) pengalihan bahan kimia yang tidak digunakan lagi ke tempat lain dimana bahan kimia tersebut dapat dimanfaatkan atau ke institusi lain merupakan cara untuk meminimalkan limbah,
c. use less : menggunakan volume atau jumlah yang lebih kecil dapat memelihara keamanan bagi manusia dan lingkungan di laboratorium.
Mengurangi skala proses laboratorium menurut Wisconsin-Madison University Safety Department (2002) bermanfaat tidak hanya mengurangi serta mencegah polusi namun juga (1) mengurangi biaya karena menggunakan jumlah bahan kimia yang lebih sedikit, mengurangi jumlah tempat penyimpanan serta akan mengurangi limbah kimia, (2) percobaan dengan skala kecil biasanya lebih cepat, (3) pemanasan atau pendingin tentunya lebih mudah dengan volume yang lebih kecil, (4) mengurangi paparan bahan kimia, (5) mengurangi tingkat risiko dan tingkat keparahan akibat kecelakaan, kebakaran atau ledakan, serta (6) kehilangan akibat penguapan dapat diminimasi. Implementasi yang mudah dilakukan selain meminimisasi jumlah bahan kimia yang digunakan adalah rapi dan cermat dalam bekerja dengan bahan kimia untuk meminimalkan tumpahan serta menjaga bahan kimia yang mudah menguap dengan menutup atau menyegel wadahnya untuk mencegah kebocoran dan penguapan ke lingkungan. Implementasi praktik manajemen limbah di laboratorium dalam Stricoff dan Walters (1995) yaitu :
a. Pemisahan limbah, salah satu tindakan good housekeeping untuk meminimisasi volume limbah dan biaya pembuangan yaitu tidak mencampur limbah tak berbahaya dengan limbah berbahaya karena campuran harus diperlakukan sebagai bahan berbahaya yang akan meningkatkan biaya dan tanggungjawab terhadap limbah tersebut. Pemisahan limbah berbahaya juga dilakukan sesuai jenis dan macamnya untuk menjaga sifat limbah, membuat daur ulang dan pengolahan lebih mudah dan murah. Melalui perawatan dan inspeksi berkala, laboratorium dapat menghindari terjadinya tumpahan dan kebocoran sebagai upaya pencegahan dan mengurangi generasi limbah.
b. Substitusi bahan berbahaya dengan bahan lain dengan toksisitas rendah. Hal ini bukan hanya mengurangi sejumlah limbah bahan berbahaya terbentuk namun juga mengurangi risiko kesehatan dan keselamatan serta dampak lingkungan yang berhubungan dengan bahan berbahaya.
c. Manajemen inventarisasi bahan kimia perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi bahan kimia atau bahan berbahaya yang kedaluwarsa, diluar spesifikasi maupun yang terdegradasi, serta melaksanakan kebijakan firstin/first-out yaitu menggunakan bahan yang lama terlebih dahulu sebelum menggunakan yang baru.
d. Recovery. Laboratorium dapat memungut ulang pelarut atau memisahkan kontaminan melalui teknik ion-exchange, ultrafiltration, reverse osmosis, centrifugation atau distilasi untuk mengurangi biaya bahan baku dan pembuangan limbah. Walaupun pada laboratorium air dan air limbah prinsip daur ulang dan recovery memiliki potensi terbatas karena volume umumnya terlalu kecil serta persyaratan kemurnian yang tinggi, namun pelarut organik dapat di suling, dipulihkan sehingga dapat digunakan kembali (APHA, 1999).
e. s yang merupakan pilihan terakhir pada hirarki manajemen limbah. Laboratorium melakukan pengolahan dengan memasukkan semua limbah pada aliran air limbah. Hal ini akan mereduksi volume limbah berbahaya yang terbentuk.
3. Green analytical chemistry
Konsep green laboratory dikemukakan oleh Wisconsin-Madison University (2002) dengan mengurangi skala proses laboratorium untuk meminimisasi dan mencegah polusi serta menekan biaya karena menggunakan jumlah bahan kimia yang lebih sedikit dan pada akhirnya mereduksi timbulan limbah kimia. Sebelumnya konsep green chemistry dikemukakan oleh Anastas (1999) bahwa dalam penggunaan bahan kimia, teknik dan metode bertujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan atau generasi bahan baku, produk, produk samping, pelarut dan pereaksi serta lain-lain yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Hal ini secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah pencegahan pencemaran dalam penggunaan bahan kimia (Armenta, dkk, 2008) dan berakar pada pembangunan berkelanjutan (Galuszka, 2013). Menurut Purwanto (2013) green chemistry, benign chemistry, clean chemistry atau kimia ramah lingkungan juga diartikan dengan mendesain bahan kimia sintesis yang menggunakan bahan berbahaya sesedikit mungkin dan limbah yang ditimbulkan menjadi minimal, dan merupakan tingkatan dasar Produksi Bersih. Kegiatan kimia ramah lingkungan yang lebih spesifik dengan istilah green analytical chemistry (GAC), environmentally friendly analytical chemistry, atau clean analytical methods, semuanya menggambarkan metode analisis yang menghilangkan atau mereduksi penggunaan pereaksi beracun dan menghasilkan lebih sedikit residu yang berdampak rendah (Melchert, dkk, 2012) dapat membuat praktik di laboratorium menjadi lebih ramah lingkungan dimana selain mengembangkan instrumentasi dan metodologi yang diperlukan untuk perbaikan kualitas analisis kimia, upaya juga dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari aktivitas analisis kimia terhadap lingkungan serta kemungkinan penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan di sebuah laboratorium pengujian (Galuszka, 2013).
Menurut Armenta, dkk (2008) latar belakang GAC bersumber dari situasi paradoks yang muncul pada tahun 1990-an dimana metode dikembangkan untuk menganalisis berbagai jenis sampel lingkungan menghasilkan sejumlah limbah kimia yang berdampak besar bagi manusia dan lingkungan, bahkan dalam beberapa keadaan bahan kimia yang digunakan dalam analisis lebih beracun daripada parameter yang diujikan. Keadaan seperti ini menyebabkan GAC dimulai sebagai pencarian praktik alternatif pengelolaan limbah dan sisa sebagai pengganti metode yang menimbulkan polusi dengan hal yang lebih bersih. Lebih lanjut Tobiszewski, dkk (2015) mengatakan proses analisis di laboratorium yang mengacu pada penentuan zat tertentu disatu sisi menimbulkan emisi dan polusi rendah namun terdispersi sehingga sulit untuk dikendalikan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang serba ringkas tersebut dapat ditarik benang merah bahwa dalam lingkungan sekolah, kegiatan belajar perlu didukung oleh sarana yang memadai, salah satunya adalah perpustakaan sekolah yang berfungsi sebagai sumber belajar siswa. Sebagai sumber belajar perpustakaan sekolah mengemban beberapa fungsi yang amat fital. Fungsi perpustakaan tersebut akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh beberapa hal seperti pengembangan koleksi yang sesuai, organisasi dan penguatan kelembagaan perpustakaan, pelayanan, penyediaan sarana dan prasarana, serta program promosi dan pengembangan perpustakaan. Keberadaan perpustakaan sekolah perlu ditangani secara baik dan memadai.
Untuk itu diperlukan kemauan dari berbagai pihak untuk mengembangkannya yaitu penentu kebijakan pada tingkat departemen, tingkat daerah, tingkat sekolah (kepala sekolah, guru, dan pengelola perpustakaan).
Selain perpustakaan, laboratorium juga dapat digunakan sebagai sumber belajar. Hanya saja di era sekarang ini masih sedikit sekali laboratorium yang ramah lingkungan.
American Chemical Society (ACS) (2002) dalam Less is Better menguraikan konsep minimisasi limbah yang dapat diadopsi oleh laboratorium yaitu : buy less, store less anduse less.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Pihak sekolah dapat memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber belajar yang efektif dan efesien.
2. Sebagai bentuk upaya pelestarian lingkungan sudah seyogyanya sekolah menerapkan laboratorium ramah lingkungan.
DAFTAR PUSAKA
http://eprints.undip.ac.id/58027/3/Tesis_elza_MIL46_bab_2.pdf
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa/article/view/2765
https://p4tkmatematika.org/2012/07/perpustakaan-sebagai-sumber-belajar/
https://jurnalteknodik.kemdikbud.go.id/index.php/jurnalteknodik/article/view/21
https://www.balipost.com/news/2019/09/13/87065/Optimalisasi-Perpustakaan-sebagai-Sumber-Belajar.html
Komentar
Posting Komentar