RINGKASAN BUKU Paulo Freire – Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan
By : Susaksi Rahayu
Paulo Freire – Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan
Tulisan ini adalah ringkasan yang diambil dari buku “Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan” karangan Paulo Freire, seorang pemikir yang dikenal dengan gagasan gagasanya terutama masalah pendidikan kaum tertindas. Pemikiranya ini memberikan sumbangsih yang besar bagi perbaikan sistem pendidikan pada masanya pun sampai sekarang. Gagasan Freire sebenarnya bukanlah gagasan yang benar benar baru, dia mengakui bahwa gagasanya adalah akumulasi dari pemikir pemikir pendhulunya seperti ; Sartre, Martin Luther King Jr, Che Guevara, Mao Tse Tung, dsb. Yang mana dia sampaikan secara unik dan membaharu. Pemikiran pemikiran kritis dari Freire ini membuat saya tertarik untuk membaca dan mempelajarinya lebih lanjut. Berikut meruakan beberapa ringkasan dari buku tersebut.
Daya tarik Freire adalah kejujuran untuk mengungkapkan, menyatakan, tanpa tedeng aling aling kondisi kemanusiaan kita yang telah sedemikian rapuhnya dimana kita justru sering bersikap tidak manusiawi dalam menghadapinya. Sebagian besar orang mengalami berbagai macam penderitaan akan tetapi sebagian lainya menikmati jerih payah orang lain dengan cara yang tidak adil. Dan kelompok yang menikmati ini nyatanya hanyalah sebagian kecil dari masyarakat, dimana hal ini memperlihatkan kondisi ketimpangan yang besar dan adanya ketidakadilan. Persoalan inilah yang disebut Freire sebagai situasi penindasan, yang mana apapun alasanya penindasan adalah hal yang tidak manusiawi.
Bagi Freire manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek bukan sebagai penderita atau objek. Seorang yang manusiawi harus menjadi pencipta sejarahnya sendiri. Bukan sekedar adaptasi namun integrasi untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya Freire. Kebebasan dari situasi situasi yang menindas. Begitupun dalam suatu proses pendidikan haruslah ada kebebasan dan penyadaran bagi peserta didik.
Namun, sistem pendidikan yang pernah ada dan masih sampai saat ini adalah pendidikan gaya “bank” dimana pelajar diberi ilmu agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainya yang lazim dikenal. Depositor atau investor adalah guru yang mewakili lembaga kemasyarakatan yang berkuasa, sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan, atau penananaman ilmu pengetahuan yang dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif sedangkan sang anak adalah obyek pasif yang penurut, sebagai obyek ilmu pengetahuan yang berifat teoritis dan tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana para guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan.
Pada akhirnya guru menjadi pusat segalanya, seperti pepatah yg sering kita dengar Guru = Digugu dan Ditiru. Hal ini membuat murid akan menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru, dan jika mereka kelak pun menjadi guru sistem yg akan mereka ajarkan pun demikian. Sistem pendidikan karena itu, menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status quo sepanjang masa bukan menjadi penggugah keperubahan pembaharuan. Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta.Sistem pendidikan pembaharu kata Freire adalah pendidikan untuk pembebasan bukan untuk penguasaan. Pendidikan menjadi proses kemerdekaan bukan penjinakan.
Bagi Freire pendidikan sebaiknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebebasan. Sistem pendidikan mapan telah menjadikan anak didik sebagai manusia manusia yang terasing dan tercabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Padahal proses pendidikan merupakan daur bertindak dan berpikir yang berlangsung secara terus menerus. Dengan seperti ini sehingga setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka didalamnya. Anak didik menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berpikir, dan berbicara menyatakan hasil tindakan, begitupun sang guru. Jadi keduanya saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Hubungan keduanya pun menjadi subyek subyek, bukan subyek objek, dan obyek mereka adalah realita. Memahami obyek secara bersama, bukan seperti “gaya bank” yang bersifat antidoalogis.
Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata dan dalam ulasan yang dialogis, maka pendidikan kaum teritndasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran dan menjauhkan rasa takut akan kemerdekaan. Freire selalu memberikan penekanan akan pentingnya penyadaran(konsientisasi). Menyadari realitas akan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, dimana proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari pendidikan itu sendiri.
Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itupun mulai masuk kedalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata mata. Maka pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata katanya sendiri, bukan kata kata orang lain. Atas dasar itulah Freire menyatakan bahwa proses alafabetisasi dan literasi pada tingkat paling awal sekali harusnya benar benar bersifat fungsional bukan sebatas kegiatan teknis, mengajarkan huruf huruf dan merangkainya menjadi kata kata yang telah tersusun secara mekanis.
Dalam sudut pandang metodologis atau sosiologis buku yang ditulis secara mekanistik betapapun baiknya tetap tidak dapat menghapuskan ‘dosa aslinya’ sebagai alat ‘penyetor ‘ kata kata kepada siswa. Dan jika kemampuan mengajar dan kreativitas guru itu rendah, berarti mereka senantiasa ‘memelihara’ alat tersebut. Dengan menggunakan kata kata yang sangat mekanis buku buku itu justru semakin memperkuat budaya bisu yang menghinggapi banyak orang. Buku semacam itu tidak dapat dijadikan alat tranformasi sosial yang sesungguhnya.
Jadi sebenarnya progam kritis untuk mengatasi buta huruf bukanlah mengajarkan bagaimana mengulang ulang secara mekanis bunyi bunyi ba bi bu be bo, kemudian buba babi bubo baba babeba bibuba, dan seterusnya. Harusnya mereka ditantang untuk memahami makna bahasa khusunya dengan kata kata yang sesuai dengan relitas kehidupan mereka. Proses belajar menuntut makna yang mendalam akan pemahaman kata. Kalimat kaimat tersebut tidak berharga karena tidak bermakna dalam pengertian tidak berkaitan dengan dengan kehidupan eksistensial siswa. Itu justru membuat siswa tidak dapat menulis dengan kata katanya sendiri.
Sebagai objek siswa menjadi teralienasi dan mengasingkan diri mereka. Serta hanya sedikit menyinggung kehidupan sosio kultural siswa. Dalam proses seperti itu progam pemberantasan buta huruf tidak akan menuju pada kebebasan. Oleh karena itu solusi terhadapnya adalah bukan dengan menjadikan orang sebagai orang dalam namun mengarahkanya menjadi orang yang sanggup membebaskan dirinya sendiri. Karena senyatanya mereka memang tidak termarjinalkan secara struktural namun didalam struktur sosial menjadi kelompok yang tertindas. Mereka yang teralienasi itu tidak akan dapat melepaskan ketergantunganya jika masih beerka dengan struktur sosial yang menjadi penyebab ketergantungan itu.
Tidak menjadi masalah kalau salah satu metode pengajarann itu adalah mengingat dan mengulang ulang suku kata, frase, namun yang lebih penting adalah refleksi kritis selama proses belajar membaca dan menulis itu berlangsung, dan menekankan betapa pentingnya yang dinamakan bahasa. Sedangkan usaha untk mendapatkan pengetahuan mencakup sebuah dialektika yang beranjang dari aksi menuju refleksi dan dari refleksi menuju aksi yang baru.
Mata pelajaran di sekolah mencerdaskan siswa, tetapi kecerdasanya hanya berkaitan dengan teks, dan tidak akan menjadi kritik yang mendasar terhadap teksi itu sendiri. Intinya dalam pendidikan gaya bank ini yang dibutuhkan pembaca bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar hafalan . Bukanya memahami teks tetapi tugasnya hanya menghafal dan saat siswa melakukanya berarti dia memenuhi kewajibanya sebagai seorang siswa. Padahal harusnya tujuan membaca adlah untuk memahami makna yang lebih dalam. Belajar bukan mengkonsumi ide , tapi menciptakan dan terus menciptakan ide.
Merubah dunia melalui karya memproklamasikan, mengeksprsikan dirinya sendiri semua inilah perilaku manusia yang unik sebagaimana yang dimaksud Freire. Dimana hal ini tidak dilakukan dipendidikan gaya bank, pendidik mengganti ‘ekspresi diri’ dengan ‘penyetor’ yakni menganggap siswa sebagai modal. Dalam proses pendidikan ini yang diperlukan adalah evaluasi (subjek subjek) buka inspeksi(subjek objek). Dengan cara ini maka evalusi bukanlah tindakan dimana pendidik A mengevaluasi pendidik B. Evaluasi itu tindakan yang dilakukan oleh pendidik A dan B secara bersama. Dengan demikian evaluasi bersifat dialektis.
Dalam hal ini, seperti fokus dalam buku bukunya Freire mengenai pendidikan kaum teritndas, khususnya dalam pemberantasan buta huruf, ada dua jenis pemberantasan buta huruf yang saling berlawanan. Yakni pendidikan yang membelenggu dan pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membelenggu bersifat prespektif, sedang yang membebaskan bersifat dialogis. Pendidikan yang membelenggu adalah transfer pengetahuan , sedangkan yang membebaskan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan nyata. Pembebasan buta hruf dilihat dari kacamata pembebasan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan kreativitas dimana siswa bersama sama dengan guru menjadi subjek pengetahuan. Jelas siswa tidak dipandang sebagai bejana kososng yang hanya menerima kata kata dari guru.
Dalam pendidikan yang seperti ini siswa yang baik bukanlah siswa yang selalu resah atau keras kepala, menampakan keraguanya atau ingin mengetahui alasan dibalik fakta, menentang aturan yang telah disusun, mencela birokrasi yang kurang baik, atau yang selalu menolak obyek pendidikan. Namun siswa dikatakan baik bila ia penurut, meninggalkan cara berpikir kritis,dan mematuhi aturan yang sudah ada.
Pendidikan dimata Freire merupakan pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Banyak kelompok kiri menyatakan bahwa sekolah tidak lebih dari sekedar pasar yang menawarkan buruh. Sekolah sekolah umum tersebut tidak menghasilkan pemikiran kritis dan tindakan transformatif. Sekolah yang harusnya menjadi agen perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Kenyataanya sekolah memang merupakan alat yang sangat canggih untuk membentuk hubungan produksi kapitalisme dan melegitimasi ideologi kapitalis dalam kehidupan sehari hari.
Pesan, “Tanpa pembebasan tidak mungkin ada pembangunan masyarakat sesungguhnya….. “Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya mempunyai kemauan yang mampu membebaskan dirinya. “
Sumber ;
Freire, Paulo.1999.Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Diterjemahkan oleh : Agung Prihantoro & Fuad Arif Fudiyanto.Yogyakarta : ReaD & Pustaka Pelajar
Komentar
Posting Komentar