DINASTI ABBASIYAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

Peradaban[1] dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin), dan sejarah kekhalifahan Islam hingga kehidupan umat Islam dewasa ini. Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan, kemajuan Barat pada mulanya bersumber pada peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol.

Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna). Landasan “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (non-samawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.

Maju mundurnya peradaban Islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat Islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan Islam, diantaranya Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi Dinasti Abbasiyah, karena memiliki peradaban yang tinggi. Salah satu indikasinya adalah munculnya ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.

Atas dasar itulah, saya merasa penting untuk mengusung pembahasan mengenai bani Abbasiyah, demi memenuhi tugas makalah kuliah “Sejarah Peradaban Islam”. Adapun topik bahasan yang saya ketengahkan adalah latar belakang berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, pemerintahan dinasti Abbasiyah, dan kemajuan dan kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan sosial.

 

B.   Rumusan Masalah

1.       Bagaimana latar belakang berdirinya Dinasti Abbasiyah ?

2.       Bagaimana system Pemerintahan Dinasti Abbasiyah

3.       Apasaja kemajuan Dinasti Abbasiyah?

4.       Bagaimana kemunduran Dinasti Abbasiyah?

 

C.   Tujuan Pembahasan

1.    Bagaimana latar belakang berdirinya Dinasti Abbasiyah ?

2.    Bagaimana system Pemerintahan Dinasti Abbasiyah

3.    Apasaja kemajuan Dinasti Abbasiyah?

4.    Bagaimana kemunduran Dinasti Abbasiyah?

 

 

 

 

 

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.   Latar Belakang Berdirinya Abbasiyah (132 – 656 H/ 750-1258 M)

            Dinasti Abbasiyah didirikan secara revolusioner, yakni dengan menggulingkan kekuasaan dinasti Umayyah. Maka, bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu  revolusi. 

            Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar  (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu : 

1.    Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang disebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.

2.    Mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga   sosial   yang   ada   dengan   perkembangan   keadaan   dan   tuntutan  zaman.

3.    Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para  kritikus.

4.    Revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang  ada .

Terdapat beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pembentukan dinasti ini diantaranya adalah meningkatnya kekecewaan kelompok Mawalli[2] terhadap Bani Umayyah, pecahnya persatuan antar suku bangsa Arab, dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka memiliki pemimpin kharismatik.[3]

Kekuatan baru ini muncul pada masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn Abd al-Malik, yang pada akhirnya menjadi tantangan berat bagi pemerintahan bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan bani Hasyim yang dipelopori keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun beberapa kelompok, diantaranya adalah:

a.  Bani Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah

b.  Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim al-Aiman

c. Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany, mereka memusatkan kegiatannya di khurasan.

d.  Golongan Syi’ah

Sebelum  daulah  Bani  Abbasiyah   berdiri,  terdapat  3  tempat   yang   menjadi  pusat  kegiatan  kelompok  Bani Abbas,  antara  satu  dengan yang   lain  mempunyai  kedudukan  tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar  paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga  tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.

Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari  kalangan   pendukung   Ali   maupun   pendukung   keluarga   Abbas.   Humaimah   terletak  berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran  Syi‘ah  pendukung   Ali   bin   Abi   Tholib.   Ia  bermusuhan   secara  terang-terangan  dengan  golongan   Bani   Umayyah.   Demikian   pula   dengan   Khurasan,   kota   yang   penduduknya  mendukung  Bani  Hasyim.  Ia  mempunyai  warga yang   bertemperamen  pemberani,  kuat  fisiknya, tegap tinggi,teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah  bingung   dengan   kepercayaan   yang   menyimpang.   Disinilah   diharapkan   dakwah   kaum  Abbassiyah mendapatkan dukungan.

Di bawah pimpinan  Muhammad bin Ali  al-Abbasy, gerakan  Bani Abbas  dilakukan  dalam dua fase yaitu :  1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran  (Hasjmy, 1993:2 11).

Selama   Imam   Muhammad   masih   hidup   gerakan   dilakukan   sangat   rahasia.  Propaganda  dikirim   keseluruh   pelosok  negara,   dan   mendapat   pengikut  yang   banyak,  terutama  dari  golongan yang   merasa  tertindas,  bahkan juga   dari  golongan yang  pada  mulanya mendukung Bani Umayyah.

 

Pada  abad  ketujuh   terjadi  pemberontakan  di seluruh  negeri.  Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-gerakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tapi, dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dari Bani Hasyim melancarkan serangannya.

Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanan. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Banui UmayyahPemberontakan yang  paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan, yakni perang antara  pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah).  Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. 

Akhirnya, pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah daulah Umayyah dengan terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Pada tahun inilah berdirilah kekuasaan dinasti bani abbas atau khalifah abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw., dinasti abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas (Abul Abbas al- Saffah). Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656 H. selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya.

 

B.   Pemerintahan Dinasti Abbasiyah

Pada  zaman   Abbasiyah   konsep   kekhalifahan   berkembang   sebagai   sistem   politik.  Menurut   pandangan   para   pemimpin   Bani   Abbasiyah,   kedaulatan   yang   ada   pada  pemerintahan   (Khalifah)   adalah   berasal   dari   Allah,   bukan   dari   rakyat   sebagaimana  diaplikasikan  oleh Abu  Bakar  dan  Umar  pada zaman  khalifahurrasyidin.  Hal  ini  dapat  dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “.

Pada zaman  Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda- beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang  dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :

a.    Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur  dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.

b.    Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.

c.    Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.

d.    Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.

e.    Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).

            Selanjutnya  periode  II,  III,  IV,   kekuasaan  Politik  Abbasiyah   sudah mengalami  penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian  (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan  politik   saja. Panglima   di   daerah   sudah   berkuasa   di   daerahnya, dan  mereka   telah  mendirikan  atau  membentuk   pemerintahan  sendiri  misalnya  saja  munculnya  Daulah- Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah.

            Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh  para  Khalifah  Daulah  Bani Abbasiyah untuk  mengamankan  dan  mempertahankan  dari  kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan  keras terhadap Bani Umayah dan kedua, pengutamaan orang-orang keturunan Persia.

            Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu  oleh   seorang  wazir  (perdana  mentri)   atau   yang  jabatanya   disebut   dengan  wizaraat. Sedangkan   wizaraat   itu   dibagi   lagi   menjadi   2   yaitu:    1)   Wizaraat   Tanfiz   (sistem  pemerintahan presidentil) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk  memimpin pemerintahan. Sedangkan, Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya  fungsi  Khalifah  sebagai  pengukuh  Dinasti-Dinasti  lokal  sebagai  gubernurnya  Khalifah  (Lapidus,1999:180).  

            Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan  sebuah  dewan yang  bernama  diwanul  kitaabah  (sekretariat  negara) yang  dipimpin  oleh  seorang  raisul  kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara,  wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara  bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.

            Lalu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul  umara,     baitul    maal,   organisasi   kehakiman.  Selama   Dinasti   ini   berkuasa,   pola  pemerintahan  yang  diterapkan  berbeda-beda  sesuai   dengan  perubahan  politik,   sosial,  ekonomi dan budaya.

            Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :

1.  Periode Pertama (750-847 M)

            Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di bawah kekuasaan para Khalifah  kecuali di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut:

     a.  Abul Abbas as-saah (750-754 M)

     b.  Abu Ja’far  al mansyur (754 – 775  M)

     c.  Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)

     d.  Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)

     e.  Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)

     f.  Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)

     g.  Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)

     h.  Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)

     i.  Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)

     j.  Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)

 

2.  Periode kedua (232 H/847 M - 59     H/1194 M)

            Pada   periode   ini,   kekuasaan   bergeser   dari   sistem   sentralistik   pada   sistem  desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom:

     a.  Kaum Turki (232-590 H)

     b.  Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)

     c.  Golongan Bani Saljuq (447-590 H)

            Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada  masa Khalifah Abbassiyah.

 

3.  Periode ketiga (590 H/1194 M - 656 H/1258 M)

            Pada  periode  ini,   kekuasaan  berada   kembali   ditangan   Khalifah,  tetapi  hanya  di  Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.

            Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :

1.    Masa Abbasy  I, yaitu  semenjak lahirnya  Daulah  Bani Abbasiyah  tahun  750  M,  sampai meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).

2.    Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal  (847 M), sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).

3.    Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun  (946 M) sampai  masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).

4.    Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).

                       Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode:

1.  Periode pertama (750–847 M)

            Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya.  Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan  politik  dan  agama  sekaligus.  Di  sisi  lain,  kemakmuran  masyarakat  mencapai  tingkat  tertinggi. Periode ini juga  berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan  ilmu pengetahuan dalam Islam. 

            Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun  750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu  Ja’far al-Mansur (754–775  M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat  Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri  itu,  al-Mansur  memindahkan  ibu  kota  negara  ke  kota yang   baru  dibangunnya, yaitu  Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.  Dengan demikian, pusat  pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.

            Di   ibu   kota   yang   baru   ini   al-Mansur   melakukan   konsolidasi   dan   penertiban  pemerintahannya.   Dia   mengangkat   sejumlah   personal   untuk   menduduki   jabatan   di  lembaga  eksekuti  dan yudikatif.  Di bidang pemerintahan  dia  menciptakan tradisi baru  dengan   mengangkat wazir   sebagai   koordinator   departemen.   Jabatan      wazir   yang  menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama  lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran).  Wazir yang  pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya  bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi  wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat  dan  kemudian  Khurasan.  Pada  masa  tersebut  persoalan-persoalan  administrasi  negara  lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam  pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah  yang berorientasi ke Arab.

            Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan 

kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad  ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang   sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan  peranannya dengan tambahan   tugas. Kalau dulu hanya sekedar  untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan   pos   ditugaskan   untuk   menghimpun   seluruh   informasi   di   daerah-daerah   sehingga   administrasi   kenegaraan   dapat   berjalan   lancar.   Para   direktur  jawatan   pos   bertugas   melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.

            Khalifah   al-Mansur   juga   berusaha   menaklukan   kembali   daerah-daerah   yang  sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di  daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama  genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. 

            Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalampandangannya ——dan   berlanjut   ke  generasi  sesudahnya——  merupakan  mandat dari  Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al  Khulafa’ al-Rasyidin. 

             Popularitas  Daulah Abbasiyah  mencapai  puncaknya  di  zaman  Khalifah  Harun  al- Rasyid   (786-809   M)   dan   putranya   al-Ma’mun   (813-833   M).   Kekayaan   yang   banyak, dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan  dokter  dan  farmasi  didirikan. Tingkat  kemakmuran  paling tinggi  terwujud  pada zaman  Khalifah   ini.   Kesejahteraan   sosial,   kesehatan,   pendidikan,   ilmu   pengetahuan   dan  kebudayaan  serta  kesusasteraan  berada  pada  zaman  keemasannya.  Pada  masa  inilah  negara  Islam  menempatkan  dirinya  sebagai  negara  terkuat  dan  tak  tertandingi  (Yatim,  2003:52-53).

            Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa  Khalifah Harun al-Rasyid  lebih  menekankan  pembinaan  peradaban  dan  kebudayaan   Islam  dari  pada  perluasan  wilayah   yang   memang   sudah   luas.   Orientasi   kepada   pembangunan   peradaban   dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti  Umayyah.

            Selanjutnya, Al-Makmun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada  ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga  mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait  al-Hikmah,   pusat   penerjemahan   yang   berfungsi   sebagai   perguruan   tinggi   dengan  perpustakaan yang  besar.  Pada  masa  al-Makmun  inilah  Baghdad  mulai  menjadi  pusat  kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

            Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang- orang  Turki   untuk  masuk  dalam  pemerintahan.  Demikian  ini  di  latar  belakangi  oleh  adanya   persaingan   antara   golongan   Arab   dan   Persia   pada   masa   al-Ma’mun   dan  sebelumnya.  Keterlibatan  mereka  dimulai  sebagai  tentara  pengawal. Tidak  seperti pada  masa  Daulah Umayyah,  Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.  Praktek   orang-orang   Muslim  mengikuti  perang  sudah  terhenti.  Tentara  dibina  secara  khusus menjadi prajurit-prajurit pro esional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti  Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.

            Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas,  baik  dari kalangan  Bani Abbas  sendiri  maupun  dari  luar.  Gerakan-gerakan  itu  seperti  gerakan   sisa-sisa   Dinasti   Umayyah   dan   kalangan   intern   Bani   Abbas   dan   lain-lain  semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip  kuat   sebagai  pusat   politik   dan  agama   sekaligus.  Apabila   tidak,   seperti   pada  periode  sesudahnya,  stabilitas  tidak  lagi  dapat  dikontrol,  bahkan  para  Khalifah  sendiri  berada  di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.

 

2.  Periode kedua (847-945 M)

            Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti  Abbasiyah pada periode pertama telah  mendorong para penguasa untuk  hidup  mewah,  bahkan   cenderung   mencolok.   Kehidupan   mewah   para   Khalifah   ini   ditiru   oleh  para  hartawan   dan   anak-anak   pejabat.   Demikian   ini   menyebabkan   roda  pemerintahan  terganggu   dan   rakyat   menjadi   miskin.   Kondisi   ini   memberi   peluang   kepada   tentara  profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil  alih  kendali  pemerintahan.  Usaha  mereka  berhasil,  sehingga kekuasaan  sesungguhnya  berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah  yang   didirikannya  mulai  pudar,  dan  ini  merupakan  awal  dari  keruntuhan  Dinasti  ini,  meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.

            Khalifah  Mutawakkil    (847-861  M) yang   merupakan  awal  dari  periode  ini  adalah  seorang   Khalifah   yang   lemah.   Pada   masa   pemerintahannya   orang-orang   Turki   dapat  merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang  memilih  dan  mengangkat  Khalifah.  Dengan  demikian  kekuasaan  tidak  lagi   berada  di  tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada  usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas  Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya  kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah  merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul  tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.

            Adapun   faktor-faktor   penting   yang   menyebabkan  kemunduran   Bani   Abbas   pada  periode ini adalah sebagai berikut: 

a.    Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para  penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.

b.    Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.

c.    Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah   merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

 

3.  Periode ketiga (945 -1055 M)

            Pada  periode   ini,   Daulah   Abbasiyah   berada   di  bawah   kekuasaan   Bani   Buwaih.  Khalifah pada masa ini tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji.  Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian  selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz,   Wasit   dan   Baghdad.   Dengan   demikian   Baghdad   pada   periode   ini   tidak  lagi  merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali 

bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.

            Meskipun   demikian,   dalam   bidang   ilmu   pengetahuan   Daulah   Abbasiyah   terus  mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar 

seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan  as-Shafa.  Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan  ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan  aliran antara Ahlussunnah danSyi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.

 

4.  Periode keempat (1055-1199 M)

            Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran  Bani  Seljuk   ini   adalah   atas  undangan   Khalifah  untuk   melumpuhkan  kekuatan  Bani  Buwaih   di   Baghdad.   Keadaan   Khalifah   memang   membaik,   paling   tidak   karena  kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang- orang Syi’ah. 

            Sebagaimana  pada  periode  sebelumnya,  ilmu  pengetahuan juga   berkembang  pada  periode  ini.  Nizam  al-Mulk,  perdana  menteri  pada  masa  Alp  Arselan  dan  Malikhsyah,  mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang- cabang  Madrasah  Nizamiyah   didirikan   hampir   di  setiap   kota   di  Irak   dan   Khurasan.  Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini  telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan  Islam yang  dilahirkan  dan berkembang pada periode ini  adalah  al-Zamakhsari, penulis  dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang  tafsir, al-Ghazali  dalam   bidang   ilmu   kalam   dan   tasawwuf,   dan   Umar   Khayyam   dalam   bidang   ilmu  perbintangan.

            Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka  membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk  mengepalai   masing-masing   propinsi   tersebut.   Pada   masa   pusat   kekuasaan   melemah,  masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang  terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan  politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut  berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.

 

5.  Periode kelima (1199-1258 M)

            Berakhirnya   kekuasaan   Dinasti   Seljuk   atas   Baghdad   atau   khilafah   Abbasiyah  merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada  di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun  banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada  di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah  Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.  Wilayah kekuasaan  Khalifah yang  sempit ini  menunjukkan  kelemahan  politiknya.  Pada  masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan  dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan  tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.

            Sebagaimana   terlihat   dalam   periodisasi   khilafah   Abbasiyah,   masa   kemunduran  dimulai  sejak  periode kedua.  Namun  demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini  tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya  sudah terlihat pada periode pertama, hanya  karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang.  Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri  cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan  berkuasa mengatur roda pemerintahan.

 

C.   Kemajuan Dinasti Abbasiyah

Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan kehancuran. Akan tetapi durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang bersangkutan. Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari beberapa bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang social-budaya. Pada masing-masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.

-       Kemajuan dalam Bidang Sosial Budaya

Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang benar-benar memliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan budaya.

Di antara kemajuan dalam bidang sosial-budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Hal itu terjadi karena dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara bangunan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan sebagainya.

Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada masa inilah lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa Dimna. Sementara tokoh terkenan dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-lainnya.

Selain bidang–bidang tersebut di atas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada masa awal pemerintah Dinasti Abbasiyah, telah banyak diushakan oleh para khalifah untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan. Oleh karena itu, mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.

Di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang  berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi  dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam  unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang  mempengaruhi   kehidupan   akal/rasio   yaitu   Kebudayaan   Persia,   Kebudayaan   Yunani,  Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.

  1.  Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena 2 faktor, yaitu :

        a. Pembentukan lembaga wizarah

        b. Pemindahan ibukota

  2.  Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:

        a. Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India 

       seperti lewat perdagangan dan penaklukan.

        b.  Secara  tak  langsung,penyaluran  kebudayaan  India  ke  dalam  kebudayaan Islam 

        lewat kebudayaan Persia.

  3.  Kebudayaan Yunani

      Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling termasyur diantaranya adalah :

a)    Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh  Sabur yang dijadikan tempat   pembuangan  para  tawanan  Romawi.  Setelah jatuh  di  bawah  kekuasaan  Islam.  Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan  bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.

b)    Harran, Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi  pusat pertemuan  segala macam kebudayaan. Warga kota  Harran merupakan pengembangan kebudayaan  Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.

c)    Iskandariyyah,   Ibukota   Mesir   waktu   menjadi   jajahan   Yunani.   Dalam   kota 

        Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato” 

        (Neo  Platonisme).  Dalam  masa  Bani Abbassiyah  hubungan  alam  pemikiran  Neo 

        Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.

  4.  Kebudayaan Arab

        Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi  dengan dua jalan utama, yaitu :

     a.  Jalan Agama,  Mengharuskan  mempelajari  Qur’an,  Hadist,  Fiqh yang   semuanya 

        dalam bahasa Arab.

     b.  Jalan Bahasa, Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara 

        rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.

 

-       Kemajuan dalam Bidang Politik dan Militer

Di antara perbedaan karakteristik yang sangat mencolok antara pemerintah Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah, terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerintah Dinasti Bani Umayyah, yaitu orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara, pemerintah Dinasti Bani Abbasiyah, lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.

Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan. Pembentukan lembaga ini berdasarkan pada kenyataan politik-militer bahwa pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemebrontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

-       Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan

Keberhasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sains, dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di antaranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Mereka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan melalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasti ini.

Perkembangan  Ilmu   pengetahuan  dan  teknologi  mencapai  puncak  kejayaan  pada  masa pemerintahhan  Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu itu  setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:

1.    Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu     mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh  Persia pada saat itu  sangat  penting   dibidang   pemerintahan.   selain   itu   mereka   banyak   berjasa   dalam perkembangan ilmu filsafat  dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.

2.    Gerakan Terjemah

Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama  di bidang  astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan  sejarah.  Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain :

a.    Bidang  filsafat:   al-Kindi,  al-Farabi,   Ibnu  Bajah,  Ibnu      Tufail,   Ibnu  Sina,   al-Ghazali,Ibnu Rusyd.

b.    Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi.

c.    Bidang Matematika: Umar al-Farukhan, al-Khawarizmi.

d.    Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni  dan sebagainya.

Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil  menemukan  berbagai  keahlian  berupa  penemuan  berbagai  bidang-bidang  ilmu pengetahuan, antara lain :

1.  Ilmu Umum

  a.Ilmu Filsafat

1)  Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.

2)  Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.

3)  Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)

4)  Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)

5)  Ibnu  Shina  (980-1037  M).  Karangan-karangan yang terkenal  antara lain:  Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain.

6)  Al   Ghazali   (1085-1101  M).   Dikenal   sebagai   Hujjatul   Islam,   karangannya:   Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain- lain.

7)  Ibnu Rusd  (1126-1198 M). Karangannya  : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain

  b. Bidang Kedokteran

1)  Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.

2)  Hurain   bin   Ishaq   (810-878   M).   Ahli   mata   yang   terkenal   disamping   sebagai     penterjemah bahasa asing.

3)  Thabib bin Qurra (836-901 M)

4)  Ar   Razi  atau  Razes  (809-873  M).  Karangan yang   terkenal  mengenai  cacar  dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.

 

  c. Bidang Matematika

1)  Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.

2)  Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).

 

  d.  Bidang Astronomi

            Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :

      1) Al Farazi : pencipta Astro lobe

     2)  Al Gattani/Al Betagnius

     3)  Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan

     4)  Al Farghoni atau Al Fragenius

 

  e. Bidang Seni Ukir

            Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tari (961-976 M) dan ada seni musik, 

seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.

 

2.  Ilmu Naqli

  a. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al 

     Andalusy (wafat  147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat  150 H), Muhammad bin 

     Ishak dan lain-lain.

  b. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H), 

     Imam Muslim  (wafat 231 H), Ibnu Majah  (wafat 273 H),Abu Daud  (wafat 275 H), At 

     Tarmidzi, dan lain-lain. 

  c. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan 

     ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, 

     Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali.

  d.  Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli  dan ulama-ulamanya adalah  :   Al  Qusyairy  (wafat 465  H). 

     Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin  (wafat 632 H). Karangannya : 

     Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.

  e. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih 

     mendapat   tempat   yang   luas   dalam   masyarakat   Islam.   Yang   mengembangkan 

     faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam 

     Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal  dan  Para Imam Syi’ah (Hasjmy,  1995:276-278).

 

-       Perkembangan Peradaban di Bidang Fisik

            Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya- upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan yang berupa:

a.    Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.

b.    Majlis   Muhadharah, yaitu   tempat   pertemuan   para   ulama,   sarjana, ahli   pikir   dan  pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.

c.    Darul   Hikmah,   adalah   perpustakaan   yang   didirikan   oleh   Harun   Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.

d.    Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.

e.    Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.      

            Pada  masa  Daulah  Bani Abbassiyah,  peradaban  di  bidang  fisik  seperti kehidupan 

ekonomi:   pertanian,   perindustrian,   perdagangan   berhasil   dikembangkan   oleh Khalifah  Mansyur.

 

-       Kehidupan Perekonomian Daulah Bani Abbasiyah

            Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan  berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam. Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :

1.    Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.

2.    Perindustrian,  Khalifah  menganjurkan  untuk  beramai-ramai  membangun  berbagai  industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.

3.    Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:

a)    Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah  dagang.

b)    Membangun armada-armada dagang.

c)    Membangun  armada  : untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.

Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.

Selain    ketiga     hal    tersebut,    juga     terdapat    peninggalan-peninggalan    yang  memperlihatkan kemajuan pesat Bani Abbassiyah.

  1.  Istana Qarruzzabad di Baghdad

  2.  Istana di kota Samarra

  3.  Bangunan-bangunan sekolah

  4.  Kuttab

  5.  Masjid

  6.  Majlis Muhadharah

  7.  Darul Hikmah

  8.  Masjid Raya Kordova (786 M)

  9.  Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)

  10. Istana Al Hamra di Kordova

  11. Istana Al Cazar, dan lain-lain (Ma’ruf,1996:39-40).

 

D.   Kemunduran Dinasti Abbasiyah

Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang disebut masa pertengahan.

Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua, namun demikian factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Di samping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Persaingan Antarbangsa

Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa, keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas `ashabiyyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.

Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.

Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang khilafah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.

 

2. Kemerosotan Ekonomi

Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.

 

3. Konflik Keagamaan

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dari kedua belah pihak.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran Syi`ah, sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi`ah sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.

Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak bebas manusia …telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam…pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah…menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.

 

4. Ancaman dari luar

Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Di samping itu, ada pula factor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.

Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.

Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni kalangan elite imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan transformasi imperium tersebut. Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib imperium Abbasiyah.

Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra mertuanya, al-Amin, dan kepada putranya yang lebih muda yang bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813.

Namun, peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap sang khalifah.Al-Makmun juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan politik yang memusat ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa gubernuran besar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

            Daulah   Abbasiyah   merupakan   lanjutan   dari   pemerintahan   Daulah   Umayyah.  Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung dari  tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain : 

1.    Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab.  Sedangkan  Dinasti  Bani  Umayyah  sangat  berorientasi  kepada Arab.

2.    Dalam  penyelenggaraan  negara,  pada  masa  bani  Abbas   ada jabatan  Wazir,  yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.

3.    Ketentaraan   profesional   baru   terbentuk   pada   masa   pemerintahan   Bani  Abbas. Sebelumnya belum ada tentara Khusus yang pro esional.

Islam mengalami zaman keemasan pada masa Bani Abbasiyyah. Hal ini merupakan  sumbangsih Dinasti Abbasiyah yang termaktub dalam Sejarah Peradaban Islam. Pada masa ini, kegiatan pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan yang signifikan. Mayoritas Khalifah dari Bani Abbasiyah merupakan orang yang berpendidikan. Selain itu, masa pemerintahan dinasti Abbasiyah membuka era baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa awal era Abbasiyah telah tercipta karya-karya kebudayaan yang sangat berpengaruh dalam mendorong lahirnya ilmu dan peradaban muslim.

            Kontribusi umat Islam pada masa ini sangat besar dalam bidang kedokteran, filsafat, kimia, matematika, geografi, hukum, teologi, dan filologi. Sesungguhnya, dalam hal ini, peradaban Barat berhutang budi kepada umat Islam, sama halnya seperti Islam yang berhutang budi terhadap peradaban Yunani.

            Namun, sangat disayangkan Khalifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap Negara. Mereka menjalani kehidupan dengan bermegah-megahan dan bermewah-mewahan. Selain itu, supremasi bangsa Turki pada periode akhir Abbasiyah menyebabkan jatuhnya Dinasti Abbasiyah. Hal itu karena kelompok Arab dan Persia menaruh kecemburuan atas ketinggian posisi mereka. Sikap anti Turki ini pada akhirnya melatarbelakangi timbulnya gerakan penglepasan diri sejumlah dinasti yang membawa akibat fatal pada keutuhan Imperium Abbasiyah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran

 

Berikut ini silsilah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah di Bagdad, yaitu:
1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24. Khalifah At-Tai (974-991 M)
25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)

 

 

DAFTAR PUSAKA

Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan

Islam, Bandung : Mizan, 1998.

Ali, K, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Esposito, John L. (ed), The Oxford History of Islam, New York, Oxford University Press,

1999.

Hitti, Philip K., History of The Arabs, London : Mac Millan, 1970.

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia : Jakarta, 1985.

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1999.

Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, Cet. 1, 2004.

Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2009.

Musyrifah, Sunanto,  Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1995.

Watt, W. Montgomery, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : P3M, 1988.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Grafindo

Persada, 2006.

 



[1] Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan culture/Inggris) dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.

Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.

 

[2] Kelompok Mawalli adalah orang-orang non Arab yang telah memeluk agama Islam. Mereka diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara itu bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Mereka tersingkir dalam urusan pemerintahan dan dalam kehidupan sosial, bahkan para penguasa Arab selalu memperlihatkan permusuhan dengan mereka.

[3] Prof. K..Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), hlm. 347.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

RINGKASAN BUKU Paulo Freire – Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan