POLITIK PENDIDIKAN (KEBUDAYAAN, KEKUASAAN dan PEMBEBASAN) BY : PAULO FREIRE


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikhtisar singkat tentang filsafat pendidikanny Paulo Freire mungkin tidaklah sampai mampu menggambarkan kelengkapan dan kedalaman gagasannya, mungkin justru mengesankan bahwa gagasan Freire bukanlah gagasan yang benar-benar baru. Namun, satu hal yang pasti adalah , bahwa Freire telah menampilkan semua gagasan besar tesebut secara unik dan membaharu, dengan rangkaian aksi penerapan yang luas, dalam sektor yang paling dikuasainya sebagai seorang ahli, seorang mahaguru, Sejarah dan Filsafat Pendidikan di Universitas Recife, Brazilia.
Buku Paulo Freire yang terbaru ini memberikan kontribusi yang snagat pentingbagi dunia pendidikan karena penerbitannya pada waktu yang tepat.
Buku Freire ini merupakan angin segar bagi perkembangan teori pendidikan, dan secara politis memberikan alternative solusi yang ‘bersemangat’ atas kebuntuan yang melanda praktik pendidikan di seantero dunia.
Freire mengambil ide pembebasan (emancipator) dari fersi filsafat sekuler dan filsafat religious didalam inti pemikiran kaum borjuis. Kemudian dia juga memasukkan pemikiran yang radikal ke dalam bukunya tetapi tentu saja tidak menerima begitu saja permasalahan yang di bidik dari kacamata kelompok radikal itu pun, karena mereka telah menodai sejarah. Pendeknya, Freire telah mengkombinasikan apa yang saya sebut “bahasa kritik dan bahasa alternative”.
Pendidikan dimata Freire merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan pendidikan sebagai pilot project, berarti kita bicara tentang sistem politik kebudayaan yang menyeluruh dan melampaui batas-batas politis dari dokktrik politik tertentu, serta berbicara tentang keterkaitan anatra teori, kenyataan sosial dan makna emansipasi yang sebenarnya. Sehingga sebagai tori sosial yang radikalwacana politik kebudayaan yang dikembangkan Freire lebih luas dan lebih fundamental daripada wacana politik yang lain misalnya teori Marxian klasik. Konsep plitik kebudayaan ini membuat kritik Freire seringkali membingungkan. Sebenarnya, pemikiran politik kebudayaannyamewakili wacana politik yang mula-mula tujuannya untuk melawan segala bentuk dominasi baik yang bersifat subjektif maupun objektif, serta untuk perjuanan menciptakan pengetahuan, keterampilan, dan bentuk – bentuk hubungan sosial dan menjamin adanya emansipasi sosial dan tetntu emansipasi individu.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Makalah ini akan mengupas buku Paulo Freire yang berjudul Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan.







BAB II
PEMBAHASAN
Kajian perkembangan politik pendidikan di Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan bergonta-gantinya kepemimpinan dinegeri ini, dimulai dari era orde lama, orde baru, hingga sekarang ini era reformasi, hal ini diiringi dengan belum adanya metodologi yang bagus dalam kajian politik pendidikan,  walaupun tidak dapat dipungkiri juga penelitian dalam bidang ini sudah banyak dan berkembang.
Metodologi studi politik pada waktu itu belum sampai mencapai titik yang diharapkan, karena metodologi pendidikan pada saat itu belum stabil dan teruji. Menurut mereka ilmu politik maupun ilmu pendidikan belum bisa memberikan gambaran mengenai konsep-konsep yang jelas, yang sudah siap digunakan (ready-made), dan metodologi yang belum teruji untuk studi politik pendidikan dan formulasi kebijakan.
Hubungan politik dan pendidikan  sangat sulit dipisahkan ibarat dua sisi koin, plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivis pendidikan dan aktivis politik, hubungan politik dan pendidikan indonesia dizaman orde lama, pendidikan mengalami perhatian yang serius dari pemerintah, pendidikan dasar dibebaskan biaya walaupun kondisi perpolitikan nasional tidak stabil. Sedangkan dalam era orde baru pendidikan sangat dikekang oleh kekuasaan politik.
Pada bagian ini, akan dibahas apakah politik pendidikan sebagai sebuah kajian akademis. Pembahsan dimulai dari penjelasan pengertian politik, pengertian pendidikan, berlanjut pembehasan mengenai apakah sebenarnya kajian politik pendidikan, yang menyangkut aspek historis, perkembangannya, dan keberadaannhya di Indonesia. Penulis juga mencoba menelusuri lebih jauh bagaimna pengakuan kalangan akademis atas kajian tersebut, kemudian tantangan dan prospeknya.
·           Rogers F. Soltau dalam Introduction to Politics, “Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lainnya.”
·           J. Barents, dalam Ilmu Politika, “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara...yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya.”
·           Ossip K. Flechtheim dalam Fundamentals of Political Sciencei. “Ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi negara.” Flechtheim juga menekankan bahwa kekuasaan politik dan tujuan politik mempengaruhi satu sama lain dan bergantung satu sama lain.
·           Joyce Mitchell dalam bukunya Political of Analysis and Public Policy, “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.”
·           Harold Laswell dalam Who Gets What, When and How, “Politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.”[1]

Menurut Mohammad daud Ali dalam bukunya pendidikan agama islam (2000) disebutkan: politik  itu berasal dari bahasa latin politicus  atau bahasa yunani politicos yang artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Ki Supriyoko (4:2007)
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai berikut.
1.     pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, yaitu mengenai sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan.
2.     Segala urusan dan tindakan, kebijakan, siasat.
3.     Kebijakan, cara bertindak di dalam menghadapi masalah tertentu.

Lalu, sekarang kita beralih pada pengertian pendidikan di dalam kamus bahasa Arab, ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan, yaitu sebagai berikut.
1.     Ta’lim, terdapat dalam QS Al-Baqarah (2) : 31, “Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian ia berkata kepada malaikat, ‘Beritahukanlah Aku semua nama-nama itu jika kamu benar’.”
2.     Tarbiyah, terdapat dalam QS Al-Isra’ (17) : 24, “...wahai Tuhanku sayangilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku di waktu kecil.”
3.     Ta’dib, terdapat dalam salah satu hadits Nabi, “Allah mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan.”
Pendidikan dalam bahasa inggris disebut dengan education adalah berasal dari bahasa Latin edication atau educare yang berarti menghasilkan dari kepribadian yang tersembunyi.
Kemudian, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Jamil Shaliba dari lembaga bahasa Arab Damaskus mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan, yaitu pengembangan fungsi-fungsi psikis melalui latihan sehingga mencapai kesempurnaannya sedikit demi sedikit.
M. J. Langeveld mendefinisikan bahwa pendidikan adalah kegiatan membimbing anaka manusia menuju kedewasaan dan kemandirian.
Kingsley Price mengemukakan pendidikan ialah proses ketika kekayaan budaya nonfisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang dewasa.[2]
Dari beberapa pengertian tersebut, kita mendapati ada persamaan dan perbedaan antara politik dan pendidikan. Persamaaannya, politik dan pendidikan sama-sama berkaitan dengan urusan manusia hidup di dunia, sama-sama sebagai salah satu alat atau jalan manusia untuk mencapai tujuannya, dan manusia sama sekali tidak bisa dikatakan apolitis dan tidak berpendidikan secara total. Manusia sekecil apapun tetap berpolitis dan tetap berpendidikan. Perbedaannya, politik lebih berkaitan dengan pencapaian posisi manusia dalam wilayah atau sebuah kekuasaan, baik itu skala besar ataupun skala kecil, sementara pendidikan lebih pada pencapaian manusia memperoleh pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan untuk persiapan hidup ke depan atau terjun dalam masyarakat yang lebih luas.
Politik dan pendidikan sebenarnya tak bisa dipisahkan. Ini setidaknya mengacu dari pernyataan beberapa kalangan filsuf luar negeri kontemporer, modern, dan posmodern, salah satunya Michael Foucault, yang mengatakan bahwasanya tidaklah mungkin memisahkan keberadaan pengetahuan dengan meninggalkan kekuasaan. Sebaliknya, tak mungkin memisahkan kekuasaan bisa berjalan tanpa pengetahuan. Kekuasaan bekerja di dalam proses pembentukan pengetahuan-yang merupakan sebuah bentuk kebudayaan. Ada filsuf lain, Francis Bacon, yang mengatakan pengetahuan adalah kekuasaan. Juga, Bourdie mengatakan bahwasanya pendidikan hanya jembatan untuk bicara tentang budaya dalam sebuah struktur. Ini berarti pendidikan dilihat sebagai proses untuk memantapkan struktur yang ada.[3]
Tidak memuaskannya kualitas pendidikan di Indonesia antara lain disebabkan karena rendahnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Anggaran pendidikan memang faktor dominan atas kinerja pendidikan pada suatu negara. Supriyoko (2007)
Para filsuf tadi menegaskan bahwasanya adalah tidak mungkin menjalankan pendidikan, apalagi menyangkut orang banyak, secara nasional, dilakukan dengan melepaskan diri secara total dari campur tangan kekuasaan. Kapasitas seorang pendidik pun terbatas, tidak bisa mengatur persoalan ekonomi, politik, dan budaya dari peserta didik dan orang tua didiknya secara komprehensif dan efektif. Tidak mungkin hidup seseorang hanya soal belajar dan mengajar, soal buku pelajaran, ujian, dan melepaskan diri persoalan sosial politik di sekitarnya. Sebaliknya, tidak mungkin sebuah kekuasaan dari dulu hingga sekarang yang bisa meninggalkan dunia pendidikan sama sekali atau menekan pendidikan dengan tiada batasnya karena toh akhirnya akan mendapatkan perlawanan signifikan, bahkan mematikan serta menggulingkan kekuasaan tersebut.
HAR Tilaar memberikan gambaran kaitan antara pendidikan dan kekuasaan itu dengan sangat halus dan menarik. Di dalam khazanah kearifan budaya masyarakat Indonesia, dikenal ungkapan “guru ratu wong atuo karo”. Artinya, di dalam masyarakat tradisional Indonesia dikenal tiga sumber kekuasaan yang mengayomi masyarakatnya, yaitu guru, ratu atau pemerintah, dan orang tua atau pemimpin-pemimpin informal dalam masyarakat.
Ketiga sumber kekuasaan yang ada di masyarakat kita merupakan pemimpin atau sumber transformasi sosial yang ada. Peran guru ialah menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang hidup di masyarakat. Tugasnya ialah mereservasi dan mengembangkan meskipun dalam tempo yang lambat. Tugas itu dapat dilaksanakan melalui kelembagaan-kelembagaan, seperti pesantren, yang kemudian menjadi pesantren-pesantren dan di masyarakat modern dikenal lembaga-lembaga sekolah.
Sang ratu atau raja atau di masyarakat modern disebut pemerintah yang mempunyai sumber kekuasaan untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat. Sumber kekuasaannya mungkin saja berasal dari Tuhan atau mungkin berasal dari sumber-sumber transendental lainnya. Kekuasaan raja tersebut atau kekuasaan pemerintah ditopang oleh stuktur birokrasi yang berjenis-jenis.
Kekuatan yang ketiga yang tidak kurang pentingnya dari dua kekuatan yang pertama ialah peranan orang-orang yang “dituakan” yang dalam masyrakat modern adalah pemimpin-pemimpin informal. Mereka dapat berbentuk kepala adat, pemimpin-pemimpin di berbagai bidang kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Bersama-sama dengan guru serta ratu, mereka merupakan sumber kekuasaan dalam mengatur dan mengarahkan masyarakat yang berbudaya.[4]
Dari penjelasan HAR tilaar di atas, kita melihat bagaimana sumber kekuasaan tidak hanya terfokus kepada kepala pemerintah dan tokoh masyarakat, tetapi juga pendidik sebagai sumber kekuasaan. Artinya, sulit dibayangkan dalam sebuah pemerintahan bisa berjalan dengan baik, efektif, dan efisien jika salah satu dari tiga sumber kekuasaan tadi tidak ada. Di sinilah pendidikan dan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan, politik pemerintahan, dan politik masyarakat.
Politik pendidikan sebagai sebuah kajian dalam literature bahasa Indonesia dapat kita temukan salah satunya melalui karya  M. Sirozi berjudul Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Di dalam buku tersebut, Sirozi memberikan landasan historis yang menunjukkan hubungan politik dan pendidikan itu sangat erat.
Di dalam sejarah peradaban Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Bagaimana aliran-aliran teologi-fiqh- mulai dari mu’tazilah, syi’ah, sunni, jabariyah, maturidiyah, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan lain sebagainya-bergulat, bekerja sama dengan kekuasaan, silih berganti untuk saling mengalahkan, dan menghancurkan paham lainnya. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memerhatikan persoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi social politik kelompok dan pengikutnya.
M. Sirozi mengutip tulisan Sjalabi yang mencatat bahwa khalifah Al-Makmun memolitisasi majelis munazharah di istananya dalam rangka menyebarkan paham Mu’tazilah yang merupakan mazhab resmi Negara waktu itu. Puncak dari tindakan Al-Makmun, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inkuisi, yaitu penyelidikan atau interogasi (al-mihna) terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka, ditanyakan apakah Al-Qur’an itu termasuk kadim atau hadits. Melalui inkuisi, para ulama pilar penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa menerima paham mu’tazilah, ideology resmi penguasa.[5]
Di dalam proses islamisasi di tanah air, terutama Jawa, kita juga melihat bagaimana para Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam tersebut menggunakan berbagai bidang; mendekati kekuasaan, budaya, dan pendidikan. Wali Songo mendekati kekuasaan, yaitu dengan mengislamkan beberapa orang dalam istana kerajaan untuk memberikan perlindungan dan menguatkan proses penyebaran Islam dan memberikan pendidikan Islam ke masyarakat luas. Di dalam mendekati kekuasaan tersebut, juga dilakukan proses pertarungan; adu pengetahuan, baik berkaitan dengan ketuhanan, alam dunia, etika, pengobatan, dan budaya.
Ketika Islam sudah menyebar dan menguasai beberapa kerajaan, seperti di Banten, Mataram, dan Tuban, legitimasi penguasa-raja sangat tergantung pada ulama-kyai-wali yang memiliki lembaga pendidikan, pesantren. Hal itu sama dengan raja-kerajaan Hindu-Budha yang legitimasinya tergantung resi-begawan-pandito yang memiliki lembaga pendidikan, padepokan.
Di Negara-negara Barat, kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politik dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic. Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara ideology dan intitusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan control atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok elite yang secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivis kependidikan dan aktivis politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Analisis Plato tersebut menjadi dasar bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan ilmuwan generasi berikutnya.[6]
Tak jauh beda dengan apa yang dilakukan Empu Prapanca yang mengarang kitab Negarakertagama di zaman kerajaan Majapahit. Walaupun sebagian besar karya tersebut lebih memfokuskan kebesaran kerajaan Majapahit, di dalamnya juga menyinggung bagaimana rajanya (Hayam Wuruk) sempat mengelilingi wilayahnya, berkenan tinggal di asrama-asrama tempat para brahmana putra-putra raja mendapat pendidikan. Kerajaan Majapahit juga memberikan kebebasan dan perlindungan kepada para Brahmana mengembangkan ilmu pengetahuan, agamanya, tradisi, dan budayanya. Lebih jauh, kerajaan Majapahit memberikan bantuan materi untuk pemeliharaan candi, perpustakaan, asrama, dan kehidupan ekonomisnya agar padepokan-padepokan tersebut tetap lestari. Selain itu, juga mengatur perbedaan aliran kepercayaan dalam agama Hindu-Budha dengan diberi wilayah, dan cakupannya yang berbeda agar semua bisa hidup dengan damai dan berdampingan satu sama lain. Hal tersebut dilakukan tidak lain karena sumber legitimasi raja dan kerajaan sangat tergantung oleh kaum pandito-brahmana tersebut.
Namun demikian, dalam perkembangannya, hubungan politik dan pendidikan pernah mengalami masa surut, dengan saling menegasikan satu sama lain. Itu semua tentu berkaitan salah satunya dengan riwayat Perang Dunia I dan Perang Dunia II dan berlanjut dengan perang dingin. Kemudian, factor lainnya adalah kondisi dan kecenderungan ddengan ideology dan praktik-praktik politik. Pandangan ini biasanya berangkat dari kekecewaan yang mendalam terhadap berbagai realitas politik, seperti praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh partai politik pada akhir abad ke-19.
Kecenderungan tersebut memuncak pada tahun 70-an, khususnya di Amerika Serikat. Pada waktu itu, ada keinginan untuk menciptakan dinding pemisah antara karakteristik sebuah system politik dan kebijakan pendidikan. Di berbagai Negara, ada beberapa ilmuwan pendidikan dan politik yang mengabaikan aspek-aspek politik pendidikan dan berpendapat bahwa pendidikan dan politik perlu dipisahkan.
Hingga tahun 80-an, di banyak Negara masih ada keyakinan yang meluas bahwa pendidikan dan politik adalah aktivitas yang terpisah dan tidak memiliki kaitan apa-apa. Para pemilik keyakinan ini bersikukuh bahwa pendidikan memang seharusnya terpisah dari politik. Keyakinan seperti ini telah mengaburkan pengertian the politics education atau politik pendidikan dan tujuan, focus, serta kajian wilayah politik pendidikan sebagai sebuah bidang kajian akademik.[7]
Di Indonesia kita juga pernah mengalami bagaimana hubungan politik dan pendidikan mengalami pasang surut. Di zaman orde lama, kita melihat bagaimana pendidikan begitu mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan melihat bagaimana posisi pendidik dan kalangan peserta didik memiiliki posisi kelas social yang dihormati, pendidikan dasar dibebaskan biaya walaupun kondisi politik Negara sangat tidak stabil. Kemudian, di zaman orde Baru, kita melihat bagaimana posisi pendidikan ditekan oleh politik penguasa, atau bagaimana politik begitu dalam campur tangan dalam pendidikan. Kita bisa menengarai hal tersebut dengan beberapa hal, yaitu pelarangan mengkaji ideology Karl Marx-Lenin, komunisme-sosialisme di lembaga pendidikan, yang dilanjutkan pelarangan terbitan buku-buku yang berbau ideology tersebut, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Terbitnya NKK-BKK yang menjauhkan kalangan mahasiswa untuk kritis terhadap kebijakan politik penguasa agar mahasiswa terfokus dalam pelajarannya. Kemudian, muatan pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang tafsiran pancasila dilakukan secara sepihak (penguasa), dilanjutkan dengan program P4. Adanya mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang lebih banyak menceritakan perjuangan fisik dari kalangan tentara (Angakatan Darat), padahal sudah ada mata pelajaran sejarah nasional yang mencakup perjuangan fisik tersebut.
Menurut M.Sirozi, sebagai bidang kajian yan relative baru dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang telah mapan, kelayakan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Mereka secara kritis mempertanyakan bidang kajian baru ini dari segi metodologi, focus, dan manfaatnya. Sikap kritis tersebut menyebabkan lambatnya pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri yang terpisah dari disipin induknya. Selain itu, para peminat kajian politik pendidikan juga memiliki perspektif yang relative berbeda tentang focus dan orientasi kajian mereka.
Salah satu penghambat bagi adanya pengakuan terhadap keautentikan kajian politik pendidikan pada masa awal perkembangannya adalah konservatisme di kalangan imuwan. Dia menjelaskan bahwa mendapatkan pengakuan dalam disiplin-dispiln yang sudah mapan bukanlah hal yang mudah bagi sebuah bidang kajian baru karena selalu saja ada vested interests yang akan terganggu. Sebagian besar akademisi  pada dasarnya bersifat konservatif jika dihadapkan pada pemberian pengakuan pada bidang kajian dan disiplin baru. Selain itu, dia menambahkan, dalam kasus ilmu-ilmu politik, masih ada keengganan untuk menerima ide bahwa mereka sangat dekat dengan pendidikan.[8]
Hal tersebut juga kita lihat bagaimana respons wacana posmodernisme yang tidak semua kalangan intelektual dunia mengakui keberadaanya, yang menilai wacana posmodernisme tersebut hanyalah keisengan intelektual dan gerakan posmodernisme masih dalam rangka dalam dan memperbaiki laju modernism. Begitu pula keberadaan wacana postrukturalisme, wacana cultural studies yang katanya sebagai baju baru ilmu sosiologi.
Hingga awal 1970-an, kajian politik pendidikan belum memililiki basis metodologi yang mantap walaupun [ada saat itu penelitian yang terfokus pada bidang kajian ini sudah cukup berkembang. Kelemahan metodologis tersebut dipengaruhi oleh karakteristik dan keterbatasan metodologis dalam tradisi studi politik dan kependidikan yang menjadi induknya.
Ketidakmantapan metodologi studi politik pendidikan pada waktu itu dikaitkan dengan metodologi politik pendidikan masih belum stabil dan belum teruji. Menurut mereka, baik ilmu politik maupun ilmu pendidikan, tidak memberikan konsep-konsep yang jelas, yang sudah siap (ready-made), dan metode-metode yang telah teruji (tried-and-tested) untuk studi politik pendidikan dan formulasi kebijakan. Ilmu politik, tegas mereka, kurang memilki kesepakatan tentang metode-metode dan tidak memiliki kerangka teori yang diterima secara luas.[9] Harus diakui dalam perjalanan ilmu pengetahuan berkaitan dengan manusia atau yang mengkaji aktivitas manusia di dunia bisa dikatakan tidak bisa stabil, berbeda dengan keberadaan ilmu pengetahuan pasti, alam, fisika, biologi, statistic, dan matematika, yang bisa dikatakan stabil.
Walaupun telah memiliki komunitas peneliti sendiri (terutama di Barat), khazanah literature yang sudah cukup banyak, perkembangan metodologis yang cukup pesat, hingga awal 1990-an bidang kajian politik pendidikan masih dihadapkan pada beberapa problem yang cukup serius, yang perlu dicermati oleh para peminat bidang kajian ini.
Ada tiga pertanyaan penting dalam kaitan dengan perkembangan dan problem kajian politik pendidikan : (1) apa status dan kedudukan politik pendidikan saat ini?; (2) sejauh mana perkembangan politik pendidikan untuk menjadi bidang kajian yang berkembang dengan baik dan dikenal luas?; (3) apa problem yang dihadapi untuk perkembangannya ke depan?
Para sarjana mungkin memberikan jawaban berbeda terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban mereka sangat tergantung pada apakah mereka berkonsentrasi pada apa-apa yang telah dicapai atau pada berbagai problem yang masih perlu di atasi.
Memang perlu disadari bahwa apa yang telah dilakukan oleh para peneliti politik pendidikan belum ada artinya. Namun apa yang telah tercapai tersebut jauh lebih baik dan cukup menggembirakan. Namun, setidaknya apa yang telah dicapai tersebut merupakan pijakan yang cukup untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Di pihak lain, masih ada sarjana yang pesimistis terhadap prospek perkembangan kajian politik pendidikan. Misalnya, ada tinjauan serial hasil penelitian politik pendidikan yang memberikan pandangan yang pesimistis. Politik pendidikan masih berada pada tahap infancy (balita). Kajian politik pendidikan kurang focus dan belum memilki orientasi metodologi serta kategori-kategori konseptual yang khas.[10]
Kemudian, dalam rangka meminimalisasi berbagai problem metodologis yang ada dalam studi politik pendidikan, perlu dikembangkan prioritas-prioritas dalam bidang kajian ini. Mengutip pendapat Harman (1980 :11-12), ada enam prioritas utama yang mendesak untuk dilakukan.
Pertama, studi dengan penekanan pada teori dan perkembangan teori. Studi ini meliputi mengeksplorasi hubungan menyeluruh antara politik dan pendidikan; analisis terhadap konsep-konsep dan kerangka yang tersedia dalam ilmu politik dan bidang terkait, serta menilai kemungkinan penerapannya untuk penelitian politik pendidikan; menyusun kerangka dan asumsi-asumsi penelitian secara eksplisit; dan mengembangkan kerangka dan konstruksi teoritis yang baru untuk menangani problem khusus dalam politik pendidikan. Kerangka dan konstruksi tersebut diperlukan agar dapat secara efektif menerangkan kaitan antara cara aktor-aktor politik ((baik pegawai dan badan public maupun warga negara) berperilaku dan factor-faktor yang membentuk perilaku tersebut, dan konsekuensi dari semua ini dalam memberikan pelayanan pendidikan.
Kedua, melakukan studi komparatif. Selain bersifat cross-national dan mengkaji aktor, proses, dan perilaku dalam konteks hukum yang berbeda, kajian politik pendidikan hendaknya juga membandingkanaspek-aspek system kebijakan pendidikan dengan wilayah lain dari aktivitas pemerintah. Perbandingan tersebut mengandung banyak nilai, tetapi secara khusus dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dan memungkinkan peneliti untuk menjelaskan perbedaan pengaturan atau pola pada masing-masing institusi, bangsa, atau kebijakan tidak berdasarkan konsep semata. Akan tetapi, juga berdasarkan fakta-fakta empiris.
Ketiga, membuat ringkasan atau melakukan studi interpretatif. Diperlukan studi-studi yang merangkum temuan-temuan dari kajian politik pendidikan, menginterpretasi hasil-hasilnya, dan menjelaskan secara jelas dan relatif sederhana implikasinya pada praktik dan penelitian lebih lanjut. Studi jenis ini baik dilakukan jika para peneliti politik pendidikan ingin membawa temuan-temun penelitian mereka kepada para praktisi pendidikan.
Keempat, melakukan studi dengan fokus utama pada tingkat makro. Tidak diragukan bahwa studi kasus memiliki nilai penting. Namun, di satu pihak ada kebutuhan untuk mengetahui sejauh mana kasus-kasus tertentu dalam skala besar memiliki kesamaan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah penelitian survei dengan menggunakan sampel nasional.
 Kelima, melaksanakan studi tentang pemerintah pusat dan pendidikan. Studi mendetail tentang struktur Departemen Pendidikan Nasional atau karakteristik proses kebijakan pendidikan di tingkat nasional sangat diperlukan, juga studi tentang aspek-aspek pembuatan kebijakan di tingkat nasional dan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut memengaruhi kebijakan dan pelayanan pendidikan di tingkat daerah.
Keenam, melakukan studi tentang persoalan di seputar kebijakan. Kita tidak hanya perlu mengetahui perbedaan antara institusi-institusi dan pola-pola perilaku, tetapi juga mempertanyakan implikasi dan perbedaan-perbedaan tersebut.[11]
Lebih jauh, dengan mengimplementasikan enam langkah-langkah prioritas sebagaimana dianjurkan Harman di atas, komunitas sarjana peminat kajian politik pendidikan di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia telah berhasil menjadikan bidang kajian ini menjadi bidang kajian yang berdiri sendiri dengan segala karakteristik, pendekatan, dan fokusnya yang unik. Untuk mengacu perkembangan yang berarti dalam kajian politik pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya dan di Indonesia khususnya, enam prioritas sebagaimana disarankan oleh Harman di atas menurut M. Sirozi perlu diimplementasikan.
Pada masa-masa mendatang, ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian politik pendidikan, yaitu menyangkut studi komprehensif terhadap pengaruh negara, manajemen atau kontrol terhadap pendidikan; sejarah peraturan perundang-undangan pendidikan: studi banding atas negara-negara yang memiliki pemerintah kesatuan (unitary government), kontrol fiskal sentralistik dan sentralisasi kurikulum: dampak proses hukum terhadap pendidikan; hubungan antara kurikulum dan minat; serta pelatihan guru dengan nilai-nilai politik masyarakat.
Untuk konteks keindonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan beberapa fokus yang berkaitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan sosial dan politik di negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik mahasiswa, gerakan guru, otonomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran pendidikan, otonomi kampus, manajemen perguruan tinggi, manajemen sekolah, akreditasi, dan lain-lain.
Para peminat kajian pilotik pendidikan di Indonesia perlu memprioritaskan kajian-kajian teoritis untuk mengembangkan dasar-dasar teori kajian politik pendidikan; menggalakkan studi komprehensif cross-regional maupun cross-national; meninjau dan menganalisis hasil-hasil penelitian yang telah ada; dan mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu pendidikan yang bersifat mikro maupun makro. Di era otonomi pendidikan sekarang perlu digalakkan studi tentang kebijakan, otoritas, dan peran kependidikan pemerintah pusat dan daerah; dan analisisi tentang latar belakang, isi, aktor, implementasi, dan implikasi dari berbagai kebijakan pendidikan, baik yang dibuat untuk skala nasional maupun yang dibuat untuk skala daerah.[12]       
Sementara itu, Ki Supriyoko di dalam salah satu tulisannya memberikan jabaran dan batasan wilayah kajian dari politik pendidikan, yaitu sebagai berikut.
1.  Politik pendidikan adalah metode yang digunakan untuk memengaruhi pihak lain untuk mencapai tujuan pendidikan.
2.  Politik pendidikan lebih berorientasi pada bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai.
3.  Politik pendidikan berbicara mengenai bagaimana metode untuk mencapai tujuan pendidikan, misalnya tentang anggaran pendidikan, kebijakan pemerintah, dan partisipasi masyarakat.
4.  Politik pendidikan berbicara mengenai sejauh mana pencapaian pendidikan sebagai pembentuk manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga ekonomi nasional, dan pembentuk bangsa yang berkarakter.
5.  Politik pendidikan serupa pengertiannya dengan politik ekonomi, politik kebudayaan.
Itu harus dibedakan dengan pendidikan politik yang pengertian dan wilayahnya sebagai berikut.
1.  Pendidikan politik adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik bagi perannya di dunia politik.
2.  Pendidikan politik lebih berorientasi pada bagaimana peserta didik menjadi manusia yang melek politik.
3.  Pendidikan politik lebih banyak berbicara mengenai usaha untuk “memelekpolitikkan” peserta didik bisa dicapai secara efektif, misalnya saja tentang sistem pengajaran, metode pengajaran, kurikulum pendidikan, dan sebagainya.
4.  Pendidikan politik lebih banyak berbicara mengenai sejauh mana sistem pemerintahan, hak dan kewajiaban warga negara, pemilu dan sebagainya.
5.  Pendidikan politik setara pengertiannya dengan pendidikan ekonomi, pendidikan agama, dan sebaginya.[13]
Melalui pembedaan pengertian dan wilayah dari politik pendidikan dan pendidikan politik di atas, kita bisa melangkah lebih jauh bahwasanya kajian politik pendidikan adalah sangat urgen. Bukan saja berkaitan dengan visi bersama kebangsaan kita untuk masa depan, melainkan juga bagaimana memperbaiki kondisi politik dan pendidikan yang tengah kita hadapi saat ini agar lebih cerdas untuk kemaslahatan bersama.
Lebih jauh mengenai politik pendidikan sebuah bangsa, di dalam salah satu tulisannya, Kartini Kartono memberikan narasi bagaimana kondisi pendidikan dan manusianya.
Di negara totaliter, kebebasan individu dibatasi, pemberian pendidikan dengan pola uniform, ketat, dan keras. Sistem pendidikannya hanya ada satu, yaitu berdasarkan satu macam filasfat pendidikan. Guru-guru bersikap otokratis, mutlak, memerintah, dan mengajar dengan tangan besi. Hal tersebut terjadi jika pendidik diharuskan meneruskan perintah dan kecenderungan kekuasaan politik bangsanya yang otoriter. Maka, tujuan pendidikan di negara totaliter adalah membentuk dan membuat manusianya sebagai alat kekuasaan atau negara.
Di negara-negara komunis dan fasis, tidak mungkin sekolah bisa membebaskan diri dari pengaruh politik negara. Pendidikan di sana dijadikan senjata strategis yang ampuh untuk menguasai manusia, yaitu mengacu rakyat menjadi bentuk manusia yang seragam, persis seperti yang dikehendaki oleh pemerintahannya. Pendidikan secara mutlak harus ada di tangan negara sebab politik bersinonim dengan pengendalian negara. Sedangkan, rakyat secara etis harus melaksanakan tanpa menolak setiap tugas dan perintah negara.
Negara oligarkis, yang diperintah oleh beberapa penguasa yang terpilih dan sifatnya mahakuasa – sebab semua kekuasaan ada di tangan mereka – juga mengembangkan sistem pendidikan yang monolinear. Sistem pendidikan di negara yang demikian, hanya memerhatikan pendidikan dari anak-anak kaum bangsawan. Anak rakyat pada umumnya dibiarkan tidak terdidik dan dalam keadaan terbelakang.
Negara kapitalis adalah negara yang dikuasai oleh sekelompok kapitalis atau orang kaya. Bentuk negaranya dikuasai oleh kaum berduit dan mendewakan uang. Kondisi sekolah, akademi, dan perguruan tinggi pada umumnya megah-mewah dan sempurna. Akan tetapi, yang bisa memasuki lembaga pendidikan hanya anak-anak orang kaya saja. Sebab, biaya untuk sekolah sangat tinggi, tidak mungkin terbayar oleh anak rakyat biasa. Karena tingginya ongkos sekolah tersebut, di kemudian hari para cerdik pandai lulusan sekolah dan universitas cenderung mengeksploitasi negara dan bangsanya demi pemulangan biaya sekolah, dan demi pemupukan harta kekayaan seseorang.
Dalam negara demokratis, konsep kenegaraannya jelas ada pembagian wewenang dan kekuasaannya, yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Namun, kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat. Tujuan pendidikannya dalam membimbing dan mendidik anak diartikan sebagai mendidik manusia dan anak manusia supaya bisa berkembang dengan bebas dan maksimal untuk kemudian sanggup melaksanakan realisasi diri, supaya bisa hidup sejahtera. Lewat pendidikan pula, anak didik memecahkan permasalahan hidupnya, untuk kemudian mengantisipasi terjadinya perubahan dan kemajuan di hari-hari mendatang. Lewat perencanaan sistematis, pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan rakyatnya. Dengan begitu, pendidikan bisa dimanfaatkan oleh rakyat sebagai alat untuk mengeksploitasikan diri, dan sebagai sarana untuk memecahkan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.[14]    
Melalui narasi pola politik pendidikan dengan ideologinya masing-masing di dunia, sekarang kita harus berkaca dengan kondisi bangsa kita, Indonesia tercinta. Negara kita ini memakai ideologi pendidikan apa? Bukan negara komunis, bukan kapitalis, bukan oligarkis, bukan otokratis, bukan pula fasis. Melainkan, pancasila, demokrasi pancasilais. Artinya, bagaiman kondisi pendidikan nasional dengan ideologi tersebut? Gus Dur pernah memberikan guyonan satir tentang konsep demokrasi Pancasila yang katanya bukan kapitalis, bukan komunis, adalah bentuk demokrasi yang bukan-bukan. Kemudian, kita mencoba melihat antara ideologi pendidikan nasional dan kenyataan yang ada, kita tidak bisa mengatakan seratus persen pendidikan nasional itu maju dan tidak bisa pula dikatakan rendah atau mundur seratus persen. Jika bisa diplesetkan, kadang maju kadang mundur, maju kena mundur kena, atau pendidikan yang kadang-kadang. Pendidikan nsional kita terkadang fasis, terkadang otokratis, terkadang komunis, terkadang kapitalis, dan terkadang demokratis.
Produk kajian politik pendidikan memang sudah ada, tetapi jumlahnya masih kurang signifikan, yang menunjukkan bahwasanya kajian atau studi ini kurang memiliki perhatian kalangan intelektual secara proporsional. Berikut ini penulis sajikan beberapa literatur yang memberikan kajian politik pendidikan.
Pertama, karya Benny Susetyo yang berjudul Politik pendidikan Penguasa. Buku ini merupakan kumpulan catatan harian dari penulis dalam merespon berbagai intrik politik penguasa dalam membuat kebijakan pendidikan. Secara garis besar, buku tersebut adalah sebuah kajian kritis atas berbagai kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh penguasa selama ini, terutama pada era reformasi. Kritik tersebut mulai dari persoalan kurikulum, anggaran pendidikan nasional, UU Sisdiknas, desentralisasi pendidikan, terutama berkaitan dengan prospek pendidikan agama nasional. Jadi buku ini langsung mengkaji secara kritis berbagai persoalan pendidikan. Bukan melalui sebuah penulisan bentuk akademis dari kajian atau studi politik pendidikan, seperti penjelasan apakah politik pendidikan tersebut, seberapa jauh hubungan politik dengan pendidikan, metodologi kajian politik pendidikan, tantangan, dan prospek kajian politik pendidikan. Buku ini lebih praktis memaparkan penerapan kajian politik pendidikan dari sudut pandang kritis, mengkritik kebijakan yang dilakukan mengalir dan bukunya diatur sebagai studi akademik.
Kedua, buku Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan karya Paulo Freire. Buku ini merupakan kajian kritis Paulo Freire dalam menerapkan pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan kaum tertindas dengan mengkritisi kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh penguasa sebagai kaum penindas pendidikan. Namun, kajian tersebut bukanlah sebuah kajian akademis yang ingin memajuakkan adanya atau keberadaan eksistensi keilmuan politik pendidikan. Melainkan, sebagai sebuah praktik kajian pendidikan kaum tertindas untuk melawan pendidikan yang dilakukan kaum penindas, dan wilayahnya lebih banyak bersal dari wilayahnya, lebih umumnya wilayah Amerika Latin, seperti Brasil, Cili, dan wilayah negara berkembang atau dunia ketiga.
Bagi Freire manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek bukan sebagai penderita atau objek. Seorang yang manusiawi harus menjadi pencipta sejarahnya sendiri. Bukan sekedar adaptasi namun integrasi untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya Freire.  Kebebasan dari situasi situasi yang menindas. Begitupun dalam suatu proses pendidikan haruslah ada kebebasan dan penyadaran bagi peserta didik.
Namun, sistem pendidikan yang pernah ada dan masih sampai saat ini adalah pendidikan gaya “bank” dimana pelajar diberi ilmu agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainya yang lazim dikenal. Depositor atau investor adalah guru yang mewakili lembaga kemasyarakatan yang berkuasa, sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan, atau penananaman ilmu pengetahuan yang dipetik hasilnya kelak.  Jadi guru adalah subyek aktif sedangkan sang anak adalah obyek pasif yang penurut, sebagai obyek ilmu pengetahuan yang berifat teoritis dan tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana para guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan.
Pada akhirnya guru menjadi pusat segalanya, seperti pepatah yg sering kita dengar Guru = Digugu dan Ditiru.  Hal ini membuat murid akan menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru, dan jika mereka kelak pun menjadi guru sistem yg akan mereka ajarkan pun demikian. Sistem pendidikan karena itu, menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status quo sepanjang masa bukan menjadi penggugah keperubahan pembaharuan. Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta.Sistem pendidikan pembaharu kata Freire adalah pendidikan untuk pembebasan bukan untuk penguasaan. Pendidikan menjadi proses kemerdekaan bukan penjinakan.
Bagi Freire pendidikan sebaiknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebebasan. Sistem pendidikan mapan telah menjadikan anak didik sebagai manusia manusia yang terasing dan tercabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Padahal proses pendidikan merupakan daur bertindak dan berpikir yang berlangsung secara terus menerus. Dengan seperti ini sehingga setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka didalamnya. Anak didik menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berpikir, dan berbicara menyatakan hasil tindakan, begitupun sang guru. Jadi keduanya saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Hubungan keduanya pun menjadi subyek subyek, bukan subyek objek, dan obyek mereka adalah realita. Memahami obyek secara bersama, bukan seperti “gaya bank” yang bersifat antidoalogis.
Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata dan dalam ulasan yang dialogis, maka pendidikan kaum teritndasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran dan menjauhkan rasa takut akan kemerdekaan. Freire selalu memberikan penekanan akan pentingnya penyadaran(konsientisasi). Menyadari realitas akan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, dimana proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari pendidikan itu sendiri.
Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itupun mulai masuk kedalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata mata. Maka pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata katanya sendiri, bukan kata kata orang lain. Atas dasar itulah Freire menyatakan bahwa proses alafabetisasi dan literasi pada tingkat paling awal sekali harusnya benar benar bersifat fungsional bukan sebatas kegiatan teknis, mengajarkan huruf huruf dan merangkainya menjadi kata kata yang telah tersusun secara mekanis.
Dalam sudut pandang metodologis atau sosiologis buku yang ditulis secara mekanistik betapapun baiknya tetap tidak dapat menghapuskan ‘dosa aslinya’ sebagai alat ‘penyetor ‘ kata kata kepada siswa. Dan jika kemampuan mengajar dan kreativitas guru itu rendah, berarti mereka senantiasa ‘memelihara’ alat tersebut. Dengan menggunakan kata kata yang sangat mekanis buku buku itu justru semakin memperkuat budaya bisu yang menghinggapi banyak orang. Buku semacam itu tidak dapat dijadikan alat tranformasi sosial yang sesungguhnya.
Jadi sebenarnya progam kritis untuk mengatasi buta huruf bukanlah mengajarkan bagaimana mengulang ulang secara mekanis bunyi bunyi ba bi bu be bo, kemudian buba babi bubo baba babeba bibuba, dan seterusnya. Harusnya mereka ditantang untuk memahami makna bahasa khusunya dengan kata kata yang sesuai dengan relitas kehidupan mereka. Proses belajar menuntut makna yang mendalam akan pemahaman kata. Kalimat kaimat tersebut tidak berharga karena tidak bermakna dalam pengertian tidak berkaitan dengan dengan kehidupan eksistensial siswa.  Itu justru membuat siswa tidak dapat menulis dengan kata katanya sendiri.
Sebagai objek siswa menjadi teralienasi dan mengasingkan diri mereka. Serta hanya sedikit menyinggung kehidupan sosio kultural siswa. Dalam proses seperti itu progam pemberantasan buta huruf tidak akan menuju pada kebebasan. Oleh karena itu solusi terhadapnya adalah bukan dengan menjadikan orang sebagai orang dalam namun mengarahkanya menjadi orang yang sanggup membebaskan dirinya sendiri. Karena senyatanya mereka memang tidak termarjinalkan secara struktural namun didalam struktur sosial menjadi kelompok yang tertindas. Mereka yang teralienasi itu tidak akan dapat melepaskan ketergantunganya jika masih beerka dengan struktur sosial yang  menjadi penyebab ketergantungan itu.
Tidak menjadi masalah kalau salah satu metode pengajarann itu adalah mengingat dan mengulang ulang suku kata, frase, namun yang lebih penting adalah refleksi kritis selama proses belajar membaca dan menulis itu berlangsung, dan menekankan betapa pentingnya yang dinamakan bahasa.  Sedangkan usaha untk mendapatkan pengetahuan mencakup sebuah dialektika yang beranjang dari aksi menuju refleksi dan dari refleksi menuju aksi yang baru.
Mata pelajaran di sekolah mencerdaskan siswa, tetapi kecerdasanya hanya berkaitan dengan teks, dan tidak akan menjadi kritik yang mendasar terhadap teksi itu sendiri. Intinya dalam pendidikan gaya bank ini yang dibutuhkan pembaca bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar hafalan . Bukanya memahami teks tetapi tugasnya hanya menghafal dan saat siswa melakukanya berarti dia memenuhi kewajibanya sebagai seorang siswa.  Padahal harusnya tujuan membaca adlah untuk memahami makna yang lebih dalam. Belajar bukan mengkonsumi ide , tapi menciptakan dan terus menciptakan ide.
Merubah dunia melalui karya memproklamasikan, mengeksprsikan dirinya sendiri semua inilah perilaku manusia yang unik sebagaimana yang dimaksud Freire. Dimana hal ini tidak dilakukan dipendidikan gaya bank, pendidik mengganti ‘ekspresi diri’ dengan ‘penyetor’ yakni menganggap siswa sebagai modal. Dalam proses pendidikan ini yang diperlukan adalah evaluasi (subjek subjek) buka inspeksi(subjek objek). Dengan cara ini maka evalusi bukanlah tindakan dimana pendidik A mengevaluasi pendidik B. Evaluasi itu tindakan yang dilakukan oleh pendidik A dan B secara bersama. Dengan demikian evaluasi bersifat dialektis.
Dalam hal ini, seperti fokus dalam buku bukunya Freire mengenai pendidikan kaum teritndas, khususnya dalam pemberantasan buta huruf, ada dua jenis pemberantasan buta huruf yang saling berlawanan. Yakni pendidikan yang membelenggu dan pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membelenggu bersifat prespektif, sedang yang membebaskan bersifat dialogis. Pendidikan yang membelenggu adalah transfer pengetahuan , sedangkan yang membebaskan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan nyata.  Pembebasan buta hruf dilihat dari kacamata pembebasan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan kreativitas dimana siswa bersama sama dengan guru menjadi subjek pengetahuan. Jelas siswa tidak dipandang sebagai bejana kososng yang hanya menerima kata kata dari guru.
Dalam pendidikan yang seperti ini siswa yang baik bukanlah siswa yang selalu resah atau keras kepala, menampakan keraguanya atau ingin mengetahui alasan dibalik fakta, menentang aturan yang telah disusun, mencela birokrasi yang kurang baik, atau yang selalu menolak obyek pendidikan. Namun siswa dikatakan baik bila ia penurut, meninggalkan cara berpikir kritis,dan mematuhi aturan yang sudah ada.
Pendidikan dimata Freire merupakan pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Banyak kelompok kiri menyatakan bahwa sekolah tidak lebih dari sekedar pasar yang menawarkan buruh. Sekolah sekolah umum tersebut tidak menghasilkan pemikiran kritis dan tindakan transformatif. Sekolah yang harusnya menjadi agen perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Kenyataanya sekolah memang merupakan alat yang sangat canggih untuk membentuk hubungan produksi kapitalisme dan melegitimasi ideologi kapitalis dalam kehidupan sehari hari.
Ketiga, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan  dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, karya M. Sirozi. Karya ini merupakan karya politik pendidikan kadua dari M. Sirozi. Karya sebelumnya dipilih secara tematik atau mengambil kasus tertentu, yaitu peran tokoh Islam dalam pembentukan UU Sisdiknas di tahun 1989. Sementara, karya yang kedua atau yang terbaru ini lebih merupakan sebuah kajian politik pendidikan secara akademis, berkaitan dengan penjelasan, hubungan politik dan pendidikan, fungsi politik institusi pendidikan, kontrol negara terhadap pendidikan, prospek kajian politik pendidikan, problem metodologi penelitian politik pendidikan, voter education, komunikasi politik dan demokrasi, radio dan pendidikan politik masyarakat, sketsa politik pendidikan di era otonomi daerah, serta aspek-aspek politik desentralisasi pendidikan.
Keempat, Politik pendidikan, Menggugat Birakrasi Pendidikan Nasional, karya Ali Rahmadi. Secara garis besar, buku ini mengkaji politik pendidikan penguasa terhadap pola pendidikan Islam, dikaitakan dengan persoalan politik birokrasinya pendidikan. Di dalam buku itu dibahas bagaimana latar histori munculnya politik birokrasi di Indonesia, model birokrasi lembaga pendidikan formal, model birokrasi lembaga pendidikan non-formal, dan model birokrasi lembaga pendidikan berbasis otonomi.
Kelima, Ali Muhdi Amnur (ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Buku ini merupakan kumpulan tulisan atau kumpulan makalah dari mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang fokus temanya berkaitan dengan politik pendidikan. Buku ini menyatakan dua tulisan karya dosen pengampu mata kuliyah Politik Pendidikan di kampus tersebut, yaitu Ki Supriyoko. Di dalam buku tersebut terdapat berbagai tawaran dan sumbangsih pemikiran mengenai persoalan politik pendidikan nasional, mulai dari pembentukan pendidikan berkarakter kebangsaan, politik anggaran nasional, politik pendidikan terhadap pendidikan Islam, politik birokrasi pendidikan nasional, dan terutama tulisan dari Ki Supriyoko yang memberikan arahan tentang kajian politik pembiayaan pendidikan nasional. Namun, sebagaimana buku yang isinya kumpulan tulisan dari berbagai penulis, fokus dan pendalaman kajian tersebut bisa dikatakan kurang.
Dari jumlah buku yang mengupas politik pendidikan nasional tersebut, kita melihat bagaimana belum signifikan, belum menarik, dan masih kecilnya porsi kajian politik pendidikan di tanah air.
Dari kesemua gambaran berbagai kalangan tentang dunia kajian politik pendidikan, sampailah penulis pada sebuah kesimpulan sebagai berikut. Politik pendidikan nasional dipastikan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang dilakukan sebuah bangsa dalam mencerdaskan anak didiknya. Hal tersebut berkaitan dengan birokrasi pendidikan, anggaran pendidikan, kebijakan kurikulum nasional, kebijakan Ujian Akhir Nasional, dan lain sebagainya.
Secara garis besar, apa yang hendak dituliskan dalam buku ini adalah ulasan apa itu sebenarnya politik pendidikan, terutama kondisi politik pendidikan nasional saat ini. Apakah di zaman Orde Reformasi dilanjutkan ini atau Orde Reformasi jilid II sudah terjadi perbaikan atas politik pendidikan tersebut sebagai bentuk perlawanan atas politik pendidikan yang dijalankan oleh penguasa sebelumnya, yaitu Orde Baru. Apakah tujuan politik pendidikan yang sudah dicanangkan sesuai dengan aplikasinya, kenyataannya, hasilnya, ataukah tidak, apakah itu terjadi karena cara-cara implementasi dari niatan baik politik pendidikan nasional tidak sesuai dan tidak dijalankan semestinya oleh para pemegang kebijakan, ataukah niatan baik tersebut yang terwujud dalam UU masih perlu ditanyakan?
Untuk semua itu, perlu mencoba mengupas apakah kaitan politik dengan pendidikan, apa bedanya politik pendidikan dengan pendidikan politik, kemudian membedah politik pendidikan sebagai sebuah kajian akademis, mengenai prospeknya, metodologinya, dan kekurangannya. Lebih jauh, untuk melihat berbagai sisi praktik politik pendidikan nasional, penulis mengambil sudut dan metodologis, yaitu historis, sosiologis, ekonomis, yuridis, maupun antropologis (budaya).
Lalu, mencoba lebih jauh dengan mencoba melihat bagaimana praktik politik birokrasi pendidikan, politik anggaran pendidikan, politik pemerataan pendidikan, politik peningkatan kualitas pendidikan, politik kebijakan UAN, dan politik kurikulum, yang kesenua itu merupakan alat politik pendidikan nasional sehingga dari sana kita memperoleh gambaran tentang keberhasilan atau kegagalan dari politik pendidikan nasional. Ukuran keberhasilan dan kegagalan tersebut adalah apakah sesuai niatan, tujuan pendidikan nasional dengan kenyataan yang ada, apakah rasional cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Demikianlah yang hendak penulis hadirkan dalam buku ini. Kiranya ikhtiar ini tidak lain dan bukan hanya bertujuan dan berniatan baik memperbaiki kondisi pendidikan nasional, meminjam istilahnya Darmaningtyas, pendidikan nasional yang dalam kondisi rusak-rusakan. Kiranya ikhtiar ini memiliki harapan semoga berkenan pada semua pihak dan bisa memberikan sumbangsihnya bagi kemajuan dan perbaikan pendidikan nasional.                 
                                                            BAB III
PENUTUP
Pendidikan merupakan salah satu alat politik dalam suatu negara, untuk menghimpun kekuatan bagi sang penguasa,  dalam perjalananya  pendidikan sangat di pengaruhi oleh penguasa, sehingga pendidikan tidak dapat berkembang sacara optimal. Seharusnya, politik pendidikan atau kebijakan politik pendidikan nasional membuat situasi pendidikan semakin maju, berkualitas dan dapat dirasakan semua lapisan masyarakat. Sejelek apapun kondisi pendidikan nasional kita, tugas kita sebagai pendidik adalah memperbaikinya dengan segala kemampuan dan kapasitas masing-masing. Pemerintah juga harus  mau bekerja sama dengan fihak-fihak yang kompeten dibidangnya dan mau menerima saran dan kritik guna perbaikan situasi pendidikan nasional kita.













DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggai. Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka. Pelajar, 2006.
Abdullah, Irwan, dkk. Agama, Pendidikan Islam, dan Tanggung jawab social Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Abidin, Said Zainal. Kebijakan Publik. Jakarta: Suara Bebas, 2006
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos 1999.
Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press, 2007.
Freire, Paulo.1999.Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Diterjemahkan oleh : Agung Prihantoro & Fuad Arif Fudiyanto.Yogyakarta : ReaD & Pustaka Pelajar
Imron, Ali. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Jalal, F & Supriadi, D. (Ed). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks otonomi Daerah. Yogyakarta: Depdiknas, Bappenas, Adicita Karya Nusa, 2001.
Khozin. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press, 2006.
Mulyono. Konsep Pembiayaan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010.
Osberg, Deborah dan Biesta, Gert. Complexity Theory and the Politics Of Education. Rotterdam: Sense Publisher, 2010.
Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Dokumentasi Undang-Undang dan Kebijakan Pendidikan.
UUD 1945 dan Pancasila.






[1] Mirriam Budiharjo, Dasar- Besar dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1971), hlm. 10-11, 13
[2] Fauzan, “Pendidikan sebagai Pembentuk Manusia Berkualitas”, dalam Ali Muhdi Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007), hlm. 36-37.
[3] Y. Dedy Pradipto, Belajar Sejati Versus Kurikulum Nasional, (Yogyakarta : Kanisius, 2007), hlm. 24.
[4] HAR Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang : Indonesia Tera, 2003), hlm. 62-64.
[5] M.Sirozi, Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hlm. 4.
[6] Ibid., hlm. 6-7.
[7] Ibid., hlm. 21-22.
[8] Ibid., hlm. 108-109.
[9] Ibid., hlm. 127-128.
[10] Ibid., hlm. 141-142.
[11] Ibid., hlm. 147-148.
[12] Ibid., hlm. 151-152.
[13] Ki Supriyoko, Hakikat Politik Pendidikan Nasional, dalam Ali Muhdi Amnur (ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pusat Fahima, 2007), hlm. 5.
[14] Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997), hlm. 108, 110, 114-115.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

RINGKASAN BUKU Paulo Freire – Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan