POLITIK PENDIDIKAN (KEBUDAYAAN, KEKUASAAN dan PEMBEBASAN) BY : PAULO FREIRE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikhtisar
singkat tentang filsafat pendidikanny Paulo Freire mungkin tidaklah sampai
mampu menggambarkan kelengkapan dan kedalaman gagasannya, mungkin justru
mengesankan bahwa gagasan Freire bukanlah gagasan yang benar-benar baru. Namun,
satu hal yang pasti adalah , bahwa Freire telah menampilkan semua gagasan besar
tesebut secara unik dan membaharu, dengan rangkaian aksi penerapan yang luas,
dalam sektor yang paling dikuasainya sebagai seorang ahli, seorang mahaguru,
Sejarah dan Filsafat Pendidikan di Universitas Recife, Brazilia.
Buku
Paulo Freire yang terbaru ini memberikan kontribusi yang snagat pentingbagi
dunia pendidikan karena penerbitannya pada waktu yang tepat.
Buku
Freire ini merupakan angin segar bagi perkembangan teori pendidikan, dan secara
politis memberikan alternative solusi yang ‘bersemangat’ atas kebuntuan yang
melanda praktik pendidikan di seantero dunia.
Freire
mengambil ide pembebasan (emancipator) dari fersi filsafat sekuler dan filsafat
religious didalam inti pemikiran kaum borjuis. Kemudian dia juga memasukkan
pemikiran yang radikal ke dalam bukunya tetapi tentu saja tidak menerima begitu
saja permasalahan yang di bidik dari kacamata kelompok radikal itu pun, karena
mereka telah menodai sejarah. Pendeknya, Freire telah mengkombinasikan apa yang
saya sebut “bahasa kritik dan bahasa alternative”.
Pendidikan
dimata Freire merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan
sosial guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan pendidikan sebagai pilot
project, berarti kita bicara tentang sistem politik kebudayaan yang menyeluruh
dan melampaui batas-batas politis dari dokktrik politik tertentu, serta
berbicara tentang keterkaitan anatra teori, kenyataan sosial dan makna
emansipasi yang sebenarnya. Sehingga sebagai tori sosial yang radikalwacana
politik kebudayaan yang dikembangkan Freire lebih luas dan lebih fundamental
daripada wacana politik yang lain misalnya teori Marxian klasik. Konsep plitik
kebudayaan ini membuat kritik Freire seringkali membingungkan. Sebenarnya,
pemikiran politik kebudayaannyamewakili wacana politik yang mula-mula tujuannya
untuk melawan segala bentuk dominasi baik yang bersifat subjektif maupun
objektif, serta untuk perjuanan menciptakan pengetahuan, keterampilan, dan
bentuk – bentuk hubungan sosial dan menjamin adanya emansipasi sosial dan
tetntu emansipasi individu.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Makalah
ini akan mengupas buku Paulo Freire yang berjudul Politik Pendidikan :
Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kajian
perkembangan politik pendidikan di Indonesia mengalami pasang surut seiring
dengan bergonta-gantinya kepemimpinan dinegeri ini, dimulai dari era orde lama,
orde baru, hingga sekarang ini era reformasi, hal ini diiringi dengan belum
adanya metodologi yang bagus dalam kajian politik pendidikan, walaupun tidak dapat dipungkiri juga
penelitian dalam bidang ini sudah banyak dan berkembang.
Metodologi
studi politik pada waktu itu belum sampai mencapai titik yang diharapkan,
karena metodologi pendidikan pada saat itu belum stabil dan teruji. Menurut
mereka ilmu politik maupun ilmu pendidikan belum bisa memberikan gambaran
mengenai konsep-konsep yang jelas, yang sudah siap digunakan (ready-made), dan metodologi yang belum
teruji untuk studi politik pendidikan dan formulasi kebijakan.
Hubungan
politik dan pendidikan sangat sulit
dipisahkan ibarat dua sisi koin, plato menggambarkan adanya hubungan dinamis
antara aktivis pendidikan dan aktivis politik, hubungan politik dan pendidikan
indonesia dizaman orde lama, pendidikan mengalami perhatian yang serius dari
pemerintah, pendidikan dasar dibebaskan biaya walaupun kondisi perpolitikan
nasional tidak stabil. Sedangkan dalam era orde baru pendidikan sangat dikekang
oleh kekuasaan politik.
Pada
bagian ini, akan dibahas apakah politik pendidikan sebagai sebuah kajian
akademis. Pembahsan dimulai dari penjelasan pengertian politik, pengertian
pendidikan, berlanjut pembehasan mengenai apakah sebenarnya kajian politik
pendidikan, yang menyangkut aspek historis, perkembangannya, dan keberadaannhya
di Indonesia. Penulis juga mencoba menelusuri lebih jauh bagaimna pengakuan
kalangan akademis atas kajian tersebut, kemudian tantangan dan prospeknya.
·
Rogers F. Soltau dalam Introduction to
Politics, “Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara, dan
lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan negara
dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lainnya.”
·
J. Barents, dalam Ilmu Politika, “Ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara...yang merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan
tugas-tugasnya.”
·
Ossip K. Flechtheim dalam Fundamentals of
Political Sciencei. “Ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus
mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi
kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak
resmi, yang dapat mempengaruhi negara.” Flechtheim juga menekankan bahwa
kekuasaan politik dan tujuan politik mempengaruhi satu sama lain dan bergantung
satu sama lain.
·
Joyce Mitchell dalam bukunya Political of
Analysis and Public Policy, “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif
atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.”
·
Harold Laswell dalam Who Gets What, When
and How, “Politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.”[1]
Menurut Mohammad daud
Ali dalam bukunya pendidikan agama islam (2000) disebutkan: politik itu berasal dari bahasa latin politicus atau bahasa yunani politicos yang artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan warga
negara atau warga kota. Ki Supriyoko (4:2007)
Sementara itu, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai berikut.
1. pengetahuan
tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, yaitu mengenai sistem pemerintahan,
dasar-dasar pemerintahan.
2. Segala
urusan dan tindakan, kebijakan, siasat.
3. Kebijakan,
cara bertindak di dalam menghadapi masalah tertentu.
Lalu, sekarang kita
beralih pada pengertian pendidikan di dalam kamus bahasa Arab, ada beberapa
istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan, yaitu sebagai
berikut.
1. Ta’lim,
terdapat
dalam QS Al-Baqarah (2) : 31, “Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama,
kemudian ia berkata kepada malaikat, ‘Beritahukanlah Aku semua nama-nama itu
jika kamu benar’.”
2. Tarbiyah,
terdapat
dalam QS Al-Isra’ (17) : 24, “...wahai Tuhanku sayangilah keduanya sebagaimana
mereka mendidikku di waktu kecil.”
3. Ta’dib,
terdapat
dalam salah satu hadits Nabi, “Allah mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku
sebaik-baik pendidikan.”
Pendidikan
dalam bahasa inggris disebut dengan education
adalah berasal dari bahasa Latin edication
atau educare yang berarti
menghasilkan dari kepribadian yang tersembunyi.
Kemudian, di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Jamil Shaliba dari
lembaga bahasa Arab Damaskus mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan, yaitu
pengembangan fungsi-fungsi psikis melalui latihan sehingga mencapai
kesempurnaannya sedikit demi sedikit.
M. J. Langeveld
mendefinisikan bahwa pendidikan adalah kegiatan membimbing anaka manusia menuju
kedewasaan dan kemandirian.
Kingsley Price mengemukakan
pendidikan ialah proses ketika kekayaan budaya nonfisik dipelihara atau
dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang dewasa.[2]
Dari beberapa
pengertian tersebut, kita mendapati ada persamaan dan perbedaan antara politik
dan pendidikan. Persamaaannya, politik dan pendidikan sama-sama berkaitan
dengan urusan manusia hidup di dunia, sama-sama sebagai salah satu alat atau
jalan manusia untuk mencapai tujuannya, dan manusia sama sekali tidak bisa
dikatakan apolitis dan tidak berpendidikan secara total. Manusia sekecil apapun
tetap berpolitis dan tetap berpendidikan. Perbedaannya, politik lebih berkaitan
dengan pencapaian posisi manusia dalam wilayah atau sebuah kekuasaan, baik itu
skala besar ataupun skala kecil, sementara pendidikan lebih pada pencapaian
manusia memperoleh pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan untuk persiapan
hidup ke depan atau terjun dalam masyarakat yang lebih luas.
Politik dan
pendidikan sebenarnya tak bisa dipisahkan. Ini setidaknya mengacu dari
pernyataan beberapa kalangan filsuf luar negeri kontemporer, modern, dan
posmodern, salah satunya Michael Foucault, yang mengatakan bahwasanya tidaklah
mungkin memisahkan keberadaan pengetahuan dengan meninggalkan kekuasaan.
Sebaliknya, tak mungkin memisahkan kekuasaan bisa berjalan tanpa pengetahuan.
Kekuasaan bekerja di dalam proses pembentukan pengetahuan-yang merupakan sebuah
bentuk kebudayaan. Ada filsuf lain, Francis Bacon, yang mengatakan pengetahuan
adalah kekuasaan. Juga, Bourdie mengatakan bahwasanya pendidikan hanya jembatan
untuk bicara tentang budaya dalam sebuah struktur. Ini berarti pendidikan
dilihat sebagai proses untuk memantapkan struktur yang ada.[3]
Tidak memuaskannya
kualitas pendidikan di Indonesia antara lain disebabkan karena rendahnya
anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Anggaran pendidikan memang faktor
dominan atas kinerja pendidikan pada suatu negara. Supriyoko (2007)
Para filsuf tadi
menegaskan bahwasanya adalah tidak mungkin menjalankan pendidikan, apalagi
menyangkut orang banyak, secara nasional, dilakukan dengan melepaskan diri
secara total dari campur tangan kekuasaan. Kapasitas seorang pendidik pun
terbatas, tidak bisa mengatur persoalan ekonomi, politik, dan budaya dari
peserta didik dan orang tua didiknya secara komprehensif dan efektif. Tidak
mungkin hidup seseorang hanya soal belajar dan mengajar, soal buku pelajaran,
ujian, dan melepaskan diri persoalan sosial politik di sekitarnya. Sebaliknya,
tidak mungkin sebuah kekuasaan dari dulu hingga sekarang yang bisa meninggalkan
dunia pendidikan sama sekali atau menekan pendidikan dengan tiada batasnya
karena toh akhirnya akan mendapatkan perlawanan signifikan, bahkan mematikan
serta menggulingkan kekuasaan tersebut.
HAR Tilaar memberikan
gambaran kaitan antara pendidikan dan kekuasaan itu dengan sangat halus dan
menarik. Di dalam khazanah kearifan budaya masyarakat Indonesia, dikenal
ungkapan “guru ratu wong atuo karo”. Artinya, di dalam masyarakat tradisional
Indonesia dikenal tiga sumber kekuasaan yang mengayomi masyarakatnya, yaitu
guru, ratu atau pemerintah, dan orang tua atau pemimpin-pemimpin informal dalam
masyarakat.
Ketiga sumber
kekuasaan yang ada di masyarakat kita merupakan pemimpin atau sumber
transformasi sosial yang ada. Peran guru ialah menjaga dan melestarikan
nilai-nilai kebudayaan yang hidup di masyarakat. Tugasnya ialah mereservasi dan
mengembangkan meskipun dalam tempo yang lambat. Tugas itu dapat dilaksanakan
melalui kelembagaan-kelembagaan, seperti pesantren, yang kemudian menjadi
pesantren-pesantren dan di masyarakat modern dikenal lembaga-lembaga sekolah.
Sang ratu atau raja
atau di masyarakat modern disebut pemerintah yang mempunyai sumber kekuasaan
untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat. Sumber kekuasaannya mungkin saja
berasal dari Tuhan atau mungkin berasal dari sumber-sumber transendental
lainnya. Kekuasaan raja tersebut atau kekuasaan pemerintah ditopang oleh
stuktur birokrasi yang berjenis-jenis.
Kekuatan yang ketiga
yang tidak kurang pentingnya dari dua kekuatan yang pertama ialah peranan
orang-orang yang “dituakan” yang dalam masyrakat modern adalah
pemimpin-pemimpin informal. Mereka dapat berbentuk kepala adat,
pemimpin-pemimpin di berbagai bidang kehidupan politik, sosial, dan ekonomi.
Bersama-sama dengan guru serta ratu, mereka merupakan sumber kekuasaan dalam
mengatur dan mengarahkan masyarakat yang berbudaya.[4]
Dari penjelasan HAR
tilaar di atas, kita melihat bagaimana sumber kekuasaan tidak hanya terfokus
kepada kepala pemerintah dan tokoh masyarakat, tetapi juga pendidik sebagai
sumber kekuasaan. Artinya, sulit dibayangkan dalam sebuah pemerintahan bisa
berjalan dengan baik, efektif, dan efisien jika salah satu dari tiga sumber
kekuasaan tadi tidak ada. Di sinilah pendidikan dan pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari kekuasaan, politik pemerintahan, dan politik masyarakat.
Politik pendidikan
sebagai sebuah kajian dalam literature bahasa Indonesia dapat kita temukan
salah satunya melalui karya M. Sirozi
berjudul Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan
dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Di dalam buku tersebut, Sirozi
memberikan landasan historis yang menunjukkan hubungan politik dan pendidikan
itu sangat erat.
Di dalam sejarah
peradaban Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas.
Bagaimana aliran-aliran teologi-fiqh- mulai dari mu’tazilah, syi’ah, sunni,
jabariyah, maturidiyah, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan lain
sebagainya-bergulat, bekerja sama dengan kekuasaan, silih berganti untuk saling
mengalahkan, dan menghancurkan paham lainnya. Sejarah peradaban Islam banyak
ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memerhatikan persoalan
pendidikan dalam upaya memperkuat posisi social politik kelompok dan
pengikutnya.
M. Sirozi mengutip
tulisan Sjalabi yang mencatat bahwa khalifah Al-Makmun memolitisasi majelis munazharah
di istananya dalam rangka menyebarkan paham Mu’tazilah yang merupakan
mazhab resmi Negara waktu itu. Puncak dari tindakan Al-Makmun, menurut Sjalabi,
adalah peristiwa inkuisi, yaitu penyelidikan atau interogasi (al-mihna)
terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka, ditanyakan apakah
Al-Qur’an itu termasuk kadim atau hadits. Melalui inkuisi, para ulama pilar
penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak
langsung dipaksa menerima paham mu’tazilah, ideology resmi penguasa.[5]
Di dalam proses
islamisasi di tanah air, terutama Jawa, kita juga melihat bagaimana para Wali
Songo dalam menyebarkan agama Islam tersebut menggunakan berbagai bidang;
mendekati kekuasaan, budaya, dan pendidikan. Wali Songo mendekati kekuasaan,
yaitu dengan mengislamkan beberapa orang dalam istana kerajaan untuk memberikan
perlindungan dan menguatkan proses penyebaran Islam dan memberikan pendidikan
Islam ke masyarakat luas. Di dalam mendekati kekuasaan tersebut, juga dilakukan
proses pertarungan; adu pengetahuan, baik berkaitan dengan ketuhanan, alam
dunia, etika, pengobatan, dan budaya.
Ketika Islam sudah
menyebar dan menguasai beberapa kerajaan, seperti di Banten, Mataram, dan
Tuban, legitimasi penguasa-raja sangat tergantung pada ulama-kyai-wali yang
memiliki lembaga pendidikan, pesantren. Hal itu sama dengan raja-kerajaan
Hindu-Budha yang legitimasinya tergantung resi-begawan-pandito yang memiliki
lembaga pendidikan, padepokan.
Di Negara-negara
Barat, kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politik dimulai oleh Plato
dalam bukunya Republic. Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan
kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara ideology dan intitusi
Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
Plato
mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah
adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik.
Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan control atas pendidikan di
tangan kelompok-kelompok elite yang secara terus menerus menguasai kekuasaan
politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan
dinamis antara aktivis kependidikan dan aktivis politik. Keduanya seakan dua
sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Analisis Plato tersebut menjadi
dasar bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan ilmuwan generasi
berikutnya.[6]
Tak jauh beda dengan
apa yang dilakukan Empu Prapanca yang mengarang kitab Negarakertagama di
zaman kerajaan Majapahit. Walaupun sebagian besar karya tersebut lebih
memfokuskan kebesaran kerajaan Majapahit, di dalamnya juga menyinggung
bagaimana rajanya (Hayam Wuruk) sempat mengelilingi wilayahnya, berkenan
tinggal di asrama-asrama tempat para brahmana putra-putra raja mendapat
pendidikan. Kerajaan Majapahit juga memberikan kebebasan dan perlindungan
kepada para Brahmana mengembangkan ilmu pengetahuan, agamanya, tradisi, dan
budayanya. Lebih jauh, kerajaan Majapahit memberikan bantuan materi untuk
pemeliharaan candi, perpustakaan, asrama, dan kehidupan ekonomisnya agar
padepokan-padepokan tersebut tetap lestari. Selain itu, juga mengatur perbedaan
aliran kepercayaan dalam agama Hindu-Budha dengan diberi wilayah, dan
cakupannya yang berbeda agar semua bisa hidup dengan damai dan berdampingan
satu sama lain. Hal tersebut dilakukan tidak lain karena sumber legitimasi raja
dan kerajaan sangat tergantung oleh kaum pandito-brahmana tersebut.
Namun demikian, dalam
perkembangannya, hubungan politik dan pendidikan pernah mengalami masa surut,
dengan saling menegasikan satu sama lain. Itu semua tentu berkaitan salah
satunya dengan riwayat Perang Dunia I dan Perang Dunia II dan berlanjut dengan
perang dingin. Kemudian, factor lainnya adalah kondisi dan kecenderungan
ddengan ideology dan praktik-praktik politik. Pandangan ini biasanya berangkat
dari kekecewaan yang mendalam terhadap berbagai realitas politik, seperti
praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh partai politik pada akhir abad
ke-19.
Kecenderungan
tersebut memuncak pada tahun 70-an, khususnya di Amerika Serikat. Pada waktu
itu, ada keinginan untuk menciptakan dinding pemisah antara karakteristik
sebuah system politik dan kebijakan pendidikan. Di berbagai Negara, ada
beberapa ilmuwan pendidikan dan politik yang mengabaikan aspek-aspek politik
pendidikan dan berpendapat bahwa pendidikan dan politik perlu dipisahkan.
Hingga tahun 80-an,
di banyak Negara masih ada keyakinan yang meluas bahwa pendidikan dan politik
adalah aktivitas yang terpisah dan tidak memiliki kaitan apa-apa. Para pemilik
keyakinan ini bersikukuh bahwa pendidikan memang seharusnya terpisah dari
politik. Keyakinan seperti ini telah mengaburkan pengertian the politics
education atau politik pendidikan dan tujuan, focus, serta kajian wilayah
politik pendidikan sebagai sebuah bidang kajian akademik.[7]
Di Indonesia kita
juga pernah mengalami bagaimana hubungan politik dan pendidikan mengalami
pasang surut. Di zaman orde lama, kita melihat bagaimana pendidikan begitu
mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan melihat bagaimana posisi
pendidik dan kalangan peserta didik memiiliki posisi kelas social yang
dihormati, pendidikan dasar dibebaskan biaya walaupun kondisi politik Negara
sangat tidak stabil. Kemudian, di zaman orde Baru, kita melihat bagaimana
posisi pendidikan ditekan oleh politik penguasa, atau bagaimana politik begitu
dalam campur tangan dalam pendidikan. Kita bisa menengarai hal tersebut dengan
beberapa hal, yaitu pelarangan mengkaji ideology Karl Marx-Lenin,
komunisme-sosialisme di lembaga pendidikan, yang dilanjutkan pelarangan terbitan
buku-buku yang berbau ideology tersebut, seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
Terbitnya NKK-BKK yang menjauhkan kalangan mahasiswa untuk kritis terhadap
kebijakan politik penguasa agar mahasiswa terfokus dalam pelajarannya.
Kemudian, muatan pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang tafsiran
pancasila dilakukan secara sepihak (penguasa), dilanjutkan dengan program P4.
Adanya mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang lebih
banyak menceritakan perjuangan fisik dari kalangan tentara (Angakatan Darat),
padahal sudah ada mata pelajaran sejarah nasional yang mencakup perjuangan
fisik tersebut.
Menurut M.Sirozi,
sebagai bidang kajian yan relative baru dan merupakan pengembangan dari bidang
kajian yang telah mapan, kelayakan politik pendidikan sebagai suatu bidang
kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh
para sarjana ilmu pendidikan. Mereka secara kritis mempertanyakan bidang kajian
baru ini dari segi metodologi, focus, dan manfaatnya. Sikap kritis tersebut
menyebabkan lambatnya pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai suatu
bidang kajian tersendiri yang terpisah dari disipin induknya. Selain itu, para
peminat kajian politik pendidikan juga memiliki perspektif yang relative
berbeda tentang focus dan orientasi kajian mereka.
Salah satu penghambat
bagi adanya pengakuan terhadap keautentikan kajian politik pendidikan pada masa
awal perkembangannya adalah konservatisme di kalangan imuwan. Dia menjelaskan
bahwa mendapatkan pengakuan dalam disiplin-dispiln yang sudah mapan bukanlah
hal yang mudah bagi sebuah bidang kajian baru karena selalu saja ada vested
interests yang akan terganggu. Sebagian besar akademisi pada dasarnya bersifat konservatif jika
dihadapkan pada pemberian pengakuan pada bidang kajian dan disiplin baru.
Selain itu, dia menambahkan, dalam kasus ilmu-ilmu politik, masih ada
keengganan untuk menerima ide bahwa mereka sangat dekat dengan pendidikan.[8]
Hal tersebut juga
kita lihat bagaimana respons wacana posmodernisme yang tidak semua kalangan
intelektual dunia mengakui keberadaanya, yang menilai wacana posmodernisme
tersebut hanyalah keisengan intelektual dan gerakan posmodernisme masih dalam
rangka dalam dan memperbaiki laju modernism. Begitu pula keberadaan wacana
postrukturalisme, wacana cultural studies yang katanya sebagai baju baru
ilmu sosiologi.
Hingga awal 1970-an,
kajian politik pendidikan belum memililiki basis metodologi yang mantap
walaupun [ada saat itu penelitian yang terfokus pada bidang kajian ini sudah
cukup berkembang. Kelemahan metodologis tersebut dipengaruhi oleh karakteristik
dan keterbatasan metodologis dalam tradisi studi politik dan kependidikan yang
menjadi induknya.
Ketidakmantapan
metodologi studi politik pendidikan pada waktu itu dikaitkan dengan metodologi
politik pendidikan masih belum stabil dan belum teruji. Menurut mereka, baik
ilmu politik maupun ilmu pendidikan, tidak memberikan konsep-konsep yang jelas,
yang sudah siap (ready-made), dan metode-metode yang telah teruji (tried-and-tested)
untuk studi politik pendidikan dan formulasi kebijakan. Ilmu politik, tegas
mereka, kurang memilki kesepakatan tentang metode-metode dan tidak memiliki
kerangka teori yang diterima secara luas.[9]
Harus diakui dalam perjalanan ilmu pengetahuan berkaitan dengan manusia atau
yang mengkaji aktivitas manusia di dunia bisa dikatakan tidak bisa stabil,
berbeda dengan keberadaan ilmu pengetahuan pasti, alam, fisika, biologi,
statistic, dan matematika, yang bisa dikatakan stabil.
Walaupun telah
memiliki komunitas peneliti sendiri (terutama di Barat), khazanah literature
yang sudah cukup banyak, perkembangan metodologis yang cukup pesat, hingga awal
1990-an bidang kajian politik pendidikan masih dihadapkan pada beberapa problem
yang cukup serius, yang perlu dicermati oleh para peminat bidang kajian ini.
Ada tiga pertanyaan
penting dalam kaitan dengan perkembangan dan problem kajian politik pendidikan
: (1) apa status dan kedudukan politik pendidikan saat ini?; (2) sejauh mana
perkembangan politik pendidikan untuk menjadi bidang kajian yang berkembang
dengan baik dan dikenal luas?; (3) apa problem yang dihadapi untuk
perkembangannya ke depan?
Para sarjana mungkin
memberikan jawaban berbeda terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban
mereka sangat tergantung pada apakah mereka berkonsentrasi pada apa-apa yang
telah dicapai atau pada berbagai problem yang masih perlu di atasi.
Memang perlu disadari
bahwa apa yang telah dilakukan oleh para peneliti politik pendidikan belum ada
artinya. Namun apa yang telah tercapai tersebut jauh lebih baik dan cukup
menggembirakan. Namun, setidaknya apa yang telah dicapai tersebut merupakan
pijakan yang cukup untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Di pihak lain,
masih ada sarjana yang pesimistis terhadap prospek perkembangan kajian politik
pendidikan. Misalnya, ada tinjauan serial hasil penelitian politik pendidikan
yang memberikan pandangan yang pesimistis. Politik pendidikan masih berada pada
tahap infancy (balita). Kajian politik pendidikan kurang focus dan belum
memilki orientasi metodologi serta kategori-kategori konseptual yang khas.[10]
Kemudian, dalam
rangka meminimalisasi berbagai problem metodologis yang ada dalam studi politik
pendidikan, perlu dikembangkan prioritas-prioritas dalam bidang kajian ini.
Mengutip pendapat Harman (1980 :11-12), ada enam prioritas utama yang mendesak
untuk dilakukan.
Pertama, studi dengan
penekanan pada teori dan perkembangan teori. Studi ini meliputi mengeksplorasi
hubungan menyeluruh antara politik dan pendidikan; analisis terhadap
konsep-konsep dan kerangka yang tersedia dalam ilmu politik dan bidang terkait,
serta menilai kemungkinan penerapannya untuk penelitian politik pendidikan;
menyusun kerangka dan asumsi-asumsi penelitian secara eksplisit; dan
mengembangkan kerangka dan konstruksi teoritis yang baru untuk menangani
problem khusus dalam politik pendidikan. Kerangka dan konstruksi tersebut
diperlukan agar dapat secara efektif menerangkan kaitan antara cara aktor-aktor
politik ((baik pegawai dan badan public maupun warga negara) berperilaku dan
factor-faktor yang membentuk perilaku tersebut, dan konsekuensi dari semua ini
dalam memberikan pelayanan pendidikan.
Kedua,
melakukan studi komparatif. Selain bersifat cross-national dan mengkaji
aktor, proses, dan perilaku dalam konteks hukum yang berbeda, kajian politik
pendidikan hendaknya juga membandingkanaspek-aspek system kebijakan pendidikan
dengan wilayah lain dari aktivitas pemerintah. Perbandingan tersebut mengandung
banyak nilai, tetapi secara khusus dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru
dan memungkinkan peneliti untuk menjelaskan perbedaan pengaturan atau pola pada
masing-masing institusi, bangsa, atau kebijakan tidak berdasarkan konsep
semata. Akan tetapi, juga berdasarkan fakta-fakta empiris.
Ketiga,
membuat ringkasan atau melakukan studi interpretatif. Diperlukan studi-studi
yang merangkum temuan-temuan dari kajian politik pendidikan, menginterpretasi
hasil-hasilnya, dan menjelaskan secara jelas dan relatif sederhana implikasinya
pada praktik dan penelitian lebih lanjut. Studi jenis ini baik dilakukan jika
para peneliti politik pendidikan ingin membawa temuan-temun penelitian mereka
kepada para praktisi pendidikan.
Keempat,
melakukan studi dengan fokus utama pada tingkat makro. Tidak diragukan bahwa
studi kasus memiliki nilai penting. Namun, di satu pihak ada kebutuhan untuk
mengetahui sejauh mana kasus-kasus tertentu dalam skala besar memiliki
kesamaan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah penelitian survei
dengan menggunakan sampel nasional.
Kelima, melaksanakan studi tentang pemerintah
pusat dan pendidikan. Studi mendetail tentang struktur Departemen Pendidikan
Nasional atau karakteristik proses kebijakan pendidikan di tingkat nasional
sangat diperlukan, juga studi tentang aspek-aspek pembuatan kebijakan di
tingkat nasional dan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut memengaruhi
kebijakan dan pelayanan pendidikan di tingkat daerah.
Keenam,
melakukan studi tentang persoalan di seputar kebijakan. Kita tidak hanya perlu
mengetahui perbedaan antara institusi-institusi dan pola-pola perilaku, tetapi
juga mempertanyakan implikasi dan perbedaan-perbedaan tersebut.[11]
Lebih
jauh, dengan mengimplementasikan enam langkah-langkah prioritas sebagaimana
dianjurkan Harman di atas, komunitas sarjana peminat kajian politik pendidikan
di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia telah berhasil menjadikan bidang
kajian ini menjadi bidang kajian yang berdiri sendiri dengan segala
karakteristik, pendekatan, dan fokusnya yang unik. Untuk mengacu perkembangan
yang berarti dalam kajian politik pendidikan di negara-negara berkembang pada
umumnya dan di Indonesia khususnya, enam prioritas sebagaimana disarankan oleh
Harman di atas menurut M. Sirozi perlu diimplementasikan.
Pada
masa-masa mendatang, ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian
politik pendidikan, yaitu menyangkut studi komprehensif terhadap pengaruh
negara, manajemen atau kontrol terhadap pendidikan; sejarah peraturan
perundang-undangan pendidikan: studi banding atas negara-negara yang memiliki
pemerintah kesatuan (unitary government), kontrol fiskal sentralistik
dan sentralisasi kurikulum: dampak proses hukum terhadap pendidikan; hubungan
antara kurikulum dan minat; serta pelatihan guru dengan nilai-nilai politik
masyarakat.
Untuk
konteks keindonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan
beberapa fokus yang berkaitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan
sosial dan politik di negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik
mahasiswa, gerakan guru, otonomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran
pendidikan, otonomi kampus, manajemen perguruan tinggi, manajemen sekolah,
akreditasi, dan lain-lain.
Para
peminat kajian pilotik pendidikan di Indonesia perlu memprioritaskan
kajian-kajian teoritis untuk mengembangkan dasar-dasar teori kajian politik
pendidikan; menggalakkan studi komprehensif cross-regional maupun cross-national;
meninjau dan menganalisis hasil-hasil penelitian yang telah ada; dan
mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu pendidikan yang bersifat mikro
maupun makro. Di era otonomi pendidikan sekarang perlu digalakkan studi tentang
kebijakan, otoritas, dan peran kependidikan pemerintah pusat dan daerah; dan
analisisi tentang latar belakang, isi, aktor, implementasi, dan implikasi dari
berbagai kebijakan pendidikan, baik yang dibuat untuk skala nasional maupun
yang dibuat untuk skala daerah.[12]
Sementara
itu, Ki Supriyoko di dalam salah satu tulisannya memberikan jabaran dan batasan
wilayah kajian dari politik pendidikan, yaitu sebagai berikut.
1. Politik
pendidikan adalah metode yang digunakan untuk memengaruhi pihak lain untuk
mencapai tujuan pendidikan.
2. Politik
pendidikan lebih berorientasi pada bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai.
3. Politik
pendidikan berbicara mengenai bagaimana metode untuk mencapai tujuan
pendidikan, misalnya tentang anggaran pendidikan, kebijakan pemerintah, dan
partisipasi masyarakat.
4. Politik
pendidikan berbicara mengenai sejauh mana pencapaian pendidikan sebagai
pembentuk manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga ekonomi nasional, dan
pembentuk bangsa yang berkarakter.
5. Politik
pendidikan serupa pengertiannya dengan politik ekonomi, politik kebudayaan.
Itu
harus dibedakan dengan pendidikan politik yang pengertian dan wilayahnya
sebagai berikut.
1. Pendidikan
politik adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik bagi perannya di
dunia politik.
2. Pendidikan
politik lebih berorientasi pada bagaimana peserta didik menjadi manusia yang
melek politik.
3. Pendidikan
politik lebih banyak berbicara mengenai usaha untuk “memelekpolitikkan” peserta
didik bisa dicapai secara efektif, misalnya saja tentang sistem pengajaran,
metode pengajaran, kurikulum pendidikan, dan sebagainya.
4. Pendidikan
politik lebih banyak berbicara mengenai sejauh mana sistem pemerintahan, hak
dan kewajiaban warga negara, pemilu dan sebagainya.
5. Pendidikan
politik setara pengertiannya dengan pendidikan ekonomi, pendidikan agama, dan
sebaginya.[13]
Melalui
pembedaan pengertian dan wilayah dari politik pendidikan dan pendidikan politik
di atas, kita bisa melangkah lebih jauh bahwasanya kajian politik pendidikan
adalah sangat urgen. Bukan saja berkaitan dengan visi bersama kebangsaan kita
untuk masa depan, melainkan juga bagaimana memperbaiki kondisi politik dan
pendidikan yang tengah kita hadapi saat ini agar lebih cerdas untuk
kemaslahatan bersama.
Lebih
jauh mengenai politik pendidikan sebuah bangsa, di dalam salah satu tulisannya,
Kartini Kartono memberikan narasi bagaimana kondisi pendidikan dan manusianya.
Di
negara totaliter, kebebasan individu dibatasi, pemberian pendidikan dengan pola
uniform, ketat, dan keras. Sistem pendidikannya hanya ada satu, yaitu
berdasarkan satu macam filasfat pendidikan. Guru-guru bersikap otokratis,
mutlak, memerintah, dan mengajar dengan tangan besi. Hal tersebut terjadi jika
pendidik diharuskan meneruskan perintah dan kecenderungan kekuasaan politik
bangsanya yang otoriter. Maka, tujuan pendidikan di negara totaliter adalah
membentuk dan membuat manusianya sebagai alat kekuasaan atau negara.
Di
negara-negara komunis dan fasis, tidak mungkin sekolah bisa membebaskan diri
dari pengaruh politik negara. Pendidikan di sana dijadikan senjata strategis yang
ampuh untuk menguasai manusia, yaitu mengacu rakyat menjadi bentuk manusia yang
seragam, persis seperti yang dikehendaki oleh pemerintahannya. Pendidikan
secara mutlak harus ada di tangan negara sebab politik bersinonim dengan
pengendalian negara. Sedangkan, rakyat secara etis harus melaksanakan tanpa
menolak setiap tugas dan perintah negara.
Negara
oligarkis, yang diperintah oleh beberapa penguasa yang terpilih dan sifatnya
mahakuasa – sebab semua kekuasaan ada di tangan mereka – juga mengembangkan sistem
pendidikan yang monolinear. Sistem pendidikan di negara yang demikian, hanya
memerhatikan pendidikan dari anak-anak kaum bangsawan. Anak rakyat pada umumnya
dibiarkan tidak terdidik dan dalam keadaan terbelakang.
Negara
kapitalis adalah negara yang dikuasai oleh sekelompok kapitalis atau orang
kaya. Bentuk negaranya dikuasai oleh kaum berduit dan mendewakan uang. Kondisi
sekolah, akademi, dan perguruan tinggi pada umumnya megah-mewah dan sempurna.
Akan tetapi, yang bisa memasuki lembaga pendidikan hanya anak-anak orang kaya
saja. Sebab, biaya untuk sekolah sangat tinggi, tidak mungkin terbayar oleh
anak rakyat biasa. Karena tingginya ongkos sekolah tersebut, di kemudian hari
para cerdik pandai lulusan sekolah dan universitas cenderung mengeksploitasi negara
dan bangsanya demi pemulangan biaya sekolah, dan demi pemupukan harta kekayaan
seseorang.
Dalam
negara demokratis, konsep kenegaraannya jelas ada pembagian wewenang dan
kekuasaannya, yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Namun, kekuasaan
tertinggi tetap pada rakyat. Tujuan pendidikannya dalam membimbing dan mendidik
anak diartikan sebagai mendidik manusia dan anak manusia supaya bisa berkembang
dengan bebas dan maksimal untuk kemudian sanggup melaksanakan realisasi diri,
supaya bisa hidup sejahtera. Lewat pendidikan pula, anak didik memecahkan
permasalahan hidupnya, untuk kemudian mengantisipasi terjadinya perubahan dan
kemajuan di hari-hari mendatang. Lewat perencanaan sistematis, pendidikan harus
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan rakyatnya. Dengan begitu, pendidikan bisa
dimanfaatkan oleh rakyat sebagai alat untuk mengeksploitasikan diri, dan
sebagai sarana untuk memecahkan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.[14]
Melalui
narasi pola politik pendidikan dengan ideologinya masing-masing di dunia,
sekarang kita harus berkaca dengan kondisi bangsa kita, Indonesia tercinta.
Negara kita ini memakai ideologi pendidikan apa? Bukan negara komunis, bukan
kapitalis, bukan oligarkis, bukan otokratis, bukan pula fasis. Melainkan,
pancasila, demokrasi pancasilais. Artinya, bagaiman kondisi pendidikan nasional
dengan ideologi tersebut? Gus Dur pernah memberikan guyonan satir tentang
konsep demokrasi Pancasila yang katanya bukan kapitalis, bukan komunis, adalah
bentuk demokrasi yang bukan-bukan. Kemudian, kita mencoba melihat antara
ideologi pendidikan nasional dan kenyataan yang ada, kita tidak bisa mengatakan
seratus persen pendidikan nasional itu maju dan tidak bisa pula dikatakan
rendah atau mundur seratus persen. Jika bisa diplesetkan, kadang maju kadang
mundur, maju kena mundur kena, atau pendidikan yang kadang-kadang. Pendidikan
nsional kita terkadang fasis, terkadang otokratis, terkadang komunis, terkadang
kapitalis, dan terkadang demokratis.
Produk
kajian politik pendidikan memang sudah ada, tetapi jumlahnya masih kurang
signifikan, yang menunjukkan bahwasanya kajian atau studi ini kurang memiliki
perhatian kalangan intelektual secara proporsional. Berikut ini penulis sajikan
beberapa literatur yang memberikan kajian politik pendidikan.
Pertama,
karya Benny Susetyo yang berjudul Politik pendidikan Penguasa. Buku ini
merupakan kumpulan catatan harian dari penulis dalam merespon berbagai intrik
politik penguasa dalam membuat kebijakan pendidikan. Secara garis besar, buku
tersebut adalah sebuah kajian kritis atas berbagai kebijakan pendidikan yang
dilakukan oleh penguasa selama ini, terutama pada era reformasi. Kritik
tersebut mulai dari persoalan kurikulum, anggaran pendidikan nasional, UU
Sisdiknas, desentralisasi pendidikan, terutama berkaitan dengan prospek
pendidikan agama nasional. Jadi buku ini langsung mengkaji secara kritis
berbagai persoalan pendidikan. Bukan melalui sebuah penulisan bentuk akademis
dari kajian atau studi politik pendidikan, seperti penjelasan apakah politik
pendidikan tersebut, seberapa jauh hubungan politik dengan pendidikan,
metodologi kajian politik pendidikan, tantangan, dan prospek kajian politik
pendidikan. Buku ini lebih praktis memaparkan penerapan kajian politik
pendidikan dari sudut pandang kritis, mengkritik kebijakan yang dilakukan
mengalir dan bukunya diatur sebagai studi akademik.
Kedua,
buku Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan karya
Paulo Freire. Buku ini merupakan kajian kritis Paulo Freire dalam menerapkan
pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan kaum tertindas dengan mengkritisi
kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh penguasa sebagai kaum penindas
pendidikan. Namun, kajian tersebut bukanlah sebuah kajian akademis yang ingin
memajuakkan adanya atau keberadaan eksistensi keilmuan politik pendidikan.
Melainkan, sebagai sebuah praktik kajian pendidikan kaum tertindas untuk
melawan pendidikan yang dilakukan kaum penindas, dan wilayahnya lebih banyak
bersal dari wilayahnya, lebih umumnya wilayah Amerika Latin, seperti Brasil,
Cili, dan wilayah negara berkembang atau dunia ketiga.
Bagi Freire manusia sejati adalah
menjadi pelaku atau subjek bukan sebagai penderita atau objek. Seorang yang
manusiawi harus menjadi pencipta sejarahnya sendiri. Bukan sekedar adaptasi
namun integrasi untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia adalah penguasa atas
dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas.
Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya Freire. Kebebasan
dari situasi situasi yang menindas. Begitupun dalam suatu proses pendidikan
haruslah ada kebebasan dan penyadaran bagi peserta didik.
Namun, sistem pendidikan yang pernah
ada dan masih sampai saat ini adalah pendidikan gaya “bank” dimana pelajar
diberi ilmu agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi anak didik
adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda
dengan komoditi ekonomis lainya yang lazim dikenal. Depositor atau investor
adalah guru yang mewakili lembaga kemasyarakatan yang berkuasa, sementara
depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak
didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai
sarana tabungan, atau penananaman ilmu pengetahuan yang dipetik hasilnya
kelak. Jadi guru adalah subyek aktif sedangkan sang anak adalah obyek
pasif yang penurut, sebagai obyek ilmu pengetahuan yang berifat teoritis dan
tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana para guru
memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan
dihafalkan.
Pada akhirnya guru menjadi pusat
segalanya, seperti pepatah yg sering kita dengar Guru = Digugu dan
Ditiru. Hal ini membuat murid akan menjadikan diri mereka sebagai
duplikasi guru, dan jika mereka kelak pun menjadi guru sistem yg akan mereka
ajarkan pun demikian. Sistem pendidikan karena itu, menjadi sarana terbaik
untuk memelihara keberlangsungan status quo sepanjang masa
bukan menjadi penggugah keperubahan pembaharuan. Pola pendidikan seperti itu
paling jauh hanya akan merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang
dihadapinya, namun tidak mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia
menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta.Sistem pendidikan pembaharu kata
Freire adalah pendidikan untuk pembebasan bukan untuk penguasaan. Pendidikan
menjadi proses kemerdekaan bukan penjinakan.
Bagi Freire pendidikan sebaiknya
justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebebasan. Sistem pendidikan
mapan telah menjadikan anak didik sebagai manusia manusia yang terasing dan
tercabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Padahal
proses pendidikan merupakan daur bertindak dan berpikir yang berlangsung secara
terus menerus. Dengan seperti ini sehingga setiap anak didik secara langsung
dilibatkan dalam permasalahan permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri
mereka didalamnya. Anak didik menjadi subjek yang belajar, subjek yang
bertindak dan berpikir, dan berbicara menyatakan hasil tindakan, begitupun sang
guru. Jadi keduanya saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan.
Hubungan keduanya pun menjadi subyek subyek, bukan subyek objek, dan obyek
mereka adalah realita. Memahami obyek secara bersama, bukan seperti “gaya bank”
yang bersifat antidoalogis.
Dengan aktif bertindak dan berpikir
sebagai pelaku, dan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata dan dalam
ulasan yang dialogis, maka pendidikan kaum teritndasnya Freire dengan segera
menumbuhkan kesadaran dan menjauhkan rasa takut akan kemerdekaan. Freire selalu
memberikan penekanan akan pentingnya penyadaran(konsientisasi). Menyadari
realitas akan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, dimana proses penyadaran
merupakan proses inti atau hakikat dari pendidikan itu sendiri.
Jika seseorang sudah mampu mencapai
tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itupun mulai masuk kedalam
proses pengertian dan bukan proses menghafal semata mata. Maka pendidikan harus
memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata katanya sendiri,
bukan kata kata orang lain. Atas dasar itulah Freire menyatakan bahwa
proses alafabetisasi dan literasi pada tingkat paling awal
sekali harusnya benar benar bersifat fungsional bukan sebatas kegiatan teknis,
mengajarkan huruf huruf dan merangkainya menjadi kata kata yang telah tersusun
secara mekanis.
Dalam sudut pandang metodologis atau
sosiologis buku yang ditulis secara mekanistik betapapun baiknya tetap tidak
dapat menghapuskan ‘dosa aslinya’ sebagai alat ‘penyetor ‘ kata kata kepada
siswa. Dan jika kemampuan mengajar dan kreativitas guru itu rendah, berarti
mereka senantiasa ‘memelihara’ alat tersebut. Dengan menggunakan kata kata yang
sangat mekanis buku buku itu justru semakin memperkuat budaya bisu yang
menghinggapi banyak orang. Buku semacam itu tidak dapat dijadikan alat
tranformasi sosial yang sesungguhnya.
Jadi sebenarnya progam kritis untuk
mengatasi buta huruf bukanlah mengajarkan bagaimana mengulang ulang secara
mekanis bunyi bunyi ba bi bu be bo, kemudian buba babi bubo baba babeba bibuba,
dan seterusnya. Harusnya mereka ditantang untuk memahami makna bahasa khusunya
dengan kata kata yang sesuai dengan relitas kehidupan mereka. Proses belajar
menuntut makna yang mendalam akan pemahaman kata. Kalimat kaimat tersebut tidak
berharga karena tidak bermakna dalam pengertian tidak berkaitan dengan dengan
kehidupan eksistensial siswa. Itu justru membuat siswa tidak dapat
menulis dengan kata katanya sendiri.
Sebagai objek siswa menjadi
teralienasi dan mengasingkan diri mereka. Serta hanya sedikit menyinggung
kehidupan sosio kultural siswa. Dalam proses seperti itu progam pemberantasan
buta huruf tidak akan menuju pada kebebasan. Oleh karena itu solusi terhadapnya
adalah bukan dengan menjadikan orang sebagai orang dalam namun mengarahkanya
menjadi orang yang sanggup membebaskan dirinya sendiri. Karena senyatanya
mereka memang tidak termarjinalkan secara struktural namun didalam struktur
sosial menjadi kelompok yang tertindas. Mereka yang teralienasi itu tidak akan
dapat melepaskan ketergantunganya jika masih beerka dengan struktur sosial
yang menjadi penyebab ketergantungan itu.
Tidak menjadi masalah kalau salah
satu metode pengajarann itu adalah mengingat dan mengulang ulang suku kata,
frase, namun yang lebih penting adalah refleksi kritis selama proses belajar
membaca dan menulis itu berlangsung, dan menekankan betapa pentingnya yang
dinamakan bahasa. Sedangkan usaha untk mendapatkan pengetahuan mencakup
sebuah dialektika yang beranjang dari aksi menuju refleksi dan dari refleksi
menuju aksi yang baru.
Mata pelajaran di sekolah
mencerdaskan siswa, tetapi kecerdasanya hanya berkaitan dengan teks, dan tidak
akan menjadi kritik yang mendasar terhadap teksi itu sendiri. Intinya dalam
pendidikan gaya bank ini yang dibutuhkan pembaca bukanlah pemahaman akan isi,
tetapi sekedar hafalan . Bukanya memahami teks tetapi tugasnya hanya menghafal
dan saat siswa melakukanya berarti dia memenuhi kewajibanya sebagai seorang
siswa. Padahal harusnya tujuan membaca adlah untuk memahami makna yang
lebih dalam. Belajar bukan mengkonsumi ide , tapi menciptakan dan terus
menciptakan ide.
Merubah dunia melalui karya memproklamasikan,
mengeksprsikan dirinya sendiri semua inilah perilaku manusia yang unik
sebagaimana yang dimaksud Freire. Dimana hal ini tidak dilakukan dipendidikan
gaya bank, pendidik mengganti ‘ekspresi diri’ dengan ‘penyetor’ yakni
menganggap siswa sebagai modal. Dalam proses pendidikan ini yang diperlukan
adalah evaluasi (subjek subjek) buka inspeksi(subjek objek). Dengan cara ini
maka evalusi bukanlah tindakan dimana pendidik A mengevaluasi pendidik B.
Evaluasi itu tindakan yang dilakukan oleh pendidik A dan B secara bersama.
Dengan demikian evaluasi bersifat dialektis.
Dalam hal ini, seperti fokus dalam
buku bukunya Freire mengenai pendidikan kaum teritndas, khususnya dalam
pemberantasan buta huruf, ada dua jenis pemberantasan buta huruf yang saling
berlawanan. Yakni pendidikan yang membelenggu dan pendidikan yang membebaskan.
Pendidikan yang membelenggu bersifat prespektif, sedang yang membebaskan
bersifat dialogis. Pendidikan yang membelenggu adalah transfer pengetahuan ,
sedangkan yang membebaskan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan
menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan nyata. Pembebasan
buta hruf dilihat dari kacamata pembebasan merupakan upaya untuk memperoleh
pengetahuan dan kreativitas dimana siswa bersama sama dengan guru menjadi
subjek pengetahuan. Jelas siswa tidak dipandang sebagai bejana kososng yang
hanya menerima kata kata dari guru.
Dalam pendidikan yang seperti ini
siswa yang baik bukanlah siswa yang selalu resah atau keras kepala, menampakan
keraguanya atau ingin mengetahui alasan dibalik fakta, menentang aturan yang
telah disusun, mencela birokrasi yang kurang baik, atau yang selalu menolak
obyek pendidikan. Namun siswa dikatakan baik bila ia penurut, meninggalkan cara
berpikir kritis,dan mematuhi aturan yang sudah ada.
Pendidikan dimata Freire merupakan
pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk
masyarakat baru. Banyak kelompok kiri menyatakan bahwa sekolah tidak lebih dari
sekedar pasar yang menawarkan buruh. Sekolah sekolah umum tersebut tidak
menghasilkan pemikiran kritis dan tindakan transformatif. Sekolah yang harusnya
menjadi agen perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Kenyataanya sekolah memang
merupakan alat yang sangat canggih untuk membentuk hubungan produksi
kapitalisme dan melegitimasi ideologi kapitalis dalam kehidupan sehari hari.
Ketiga,
Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan,
karya M. Sirozi. Karya ini merupakan karya politik pendidikan kadua dari M.
Sirozi. Karya sebelumnya dipilih secara tematik atau mengambil kasus tertentu,
yaitu peran tokoh Islam dalam pembentukan UU Sisdiknas di tahun 1989.
Sementara, karya yang kedua atau yang terbaru ini lebih merupakan sebuah kajian
politik pendidikan secara akademis, berkaitan dengan penjelasan, hubungan
politik dan pendidikan, fungsi politik institusi pendidikan, kontrol negara
terhadap pendidikan, prospek kajian politik pendidikan, problem metodologi
penelitian politik pendidikan, voter education, komunikasi politik dan
demokrasi, radio dan pendidikan politik masyarakat, sketsa politik pendidikan
di era otonomi daerah, serta aspek-aspek politik desentralisasi pendidikan.
Keempat,
Politik pendidikan, Menggugat Birakrasi Pendidikan Nasional, karya Ali
Rahmadi. Secara garis besar, buku ini mengkaji politik pendidikan penguasa
terhadap pola pendidikan Islam, dikaitakan dengan persoalan politik
birokrasinya pendidikan. Di dalam buku itu dibahas bagaimana latar histori
munculnya politik birokrasi di Indonesia, model birokrasi lembaga pendidikan
formal, model birokrasi lembaga pendidikan non-formal, dan model birokrasi
lembaga pendidikan berbasis otonomi.
Kelima,
Ali Muhdi Amnur (ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Buku ini
merupakan kumpulan tulisan atau kumpulan makalah dari mahasiswa pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang fokus temanya berkaitan dengan politik
pendidikan. Buku ini menyatakan dua tulisan karya dosen pengampu mata kuliyah
Politik Pendidikan di kampus tersebut, yaitu Ki Supriyoko. Di dalam buku
tersebut terdapat berbagai tawaran dan sumbangsih pemikiran mengenai persoalan
politik pendidikan nasional, mulai dari pembentukan pendidikan berkarakter
kebangsaan, politik anggaran nasional, politik pendidikan terhadap pendidikan
Islam, politik birokrasi pendidikan nasional, dan terutama tulisan dari Ki
Supriyoko yang memberikan arahan tentang kajian politik pembiayaan pendidikan
nasional. Namun, sebagaimana buku yang isinya kumpulan tulisan dari berbagai
penulis, fokus dan pendalaman kajian tersebut bisa dikatakan kurang.
Dari
jumlah buku yang mengupas politik pendidikan nasional tersebut, kita melihat
bagaimana belum signifikan, belum menarik, dan masih kecilnya porsi kajian
politik pendidikan di tanah air.
Dari
kesemua gambaran berbagai kalangan tentang dunia kajian politik pendidikan,
sampailah penulis pada sebuah kesimpulan sebagai berikut. Politik pendidikan
nasional dipastikan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang
dilakukan sebuah bangsa dalam mencerdaskan anak didiknya. Hal tersebut
berkaitan dengan birokrasi pendidikan, anggaran pendidikan, kebijakan kurikulum
nasional, kebijakan Ujian Akhir Nasional, dan lain sebagainya.
Secara
garis besar, apa yang hendak dituliskan dalam buku ini adalah ulasan apa itu
sebenarnya politik pendidikan, terutama kondisi politik pendidikan nasional
saat ini. Apakah di zaman Orde Reformasi dilanjutkan ini atau Orde Reformasi
jilid II sudah terjadi perbaikan atas politik pendidikan tersebut sebagai
bentuk perlawanan atas politik pendidikan yang dijalankan oleh penguasa
sebelumnya, yaitu Orde Baru. Apakah tujuan politik pendidikan yang sudah
dicanangkan sesuai dengan aplikasinya, kenyataannya, hasilnya, ataukah tidak,
apakah itu terjadi karena cara-cara implementasi dari niatan baik politik
pendidikan nasional tidak sesuai dan tidak dijalankan semestinya oleh para
pemegang kebijakan, ataukah niatan baik tersebut yang terwujud dalam UU masih
perlu ditanyakan?
Untuk
semua itu, perlu mencoba mengupas apakah kaitan politik dengan pendidikan, apa
bedanya politik pendidikan dengan pendidikan politik, kemudian membedah politik
pendidikan sebagai sebuah kajian akademis, mengenai prospeknya, metodologinya,
dan kekurangannya. Lebih jauh, untuk melihat berbagai sisi praktik politik
pendidikan nasional, penulis mengambil sudut dan metodologis, yaitu historis,
sosiologis, ekonomis, yuridis, maupun antropologis (budaya).
Lalu,
mencoba lebih jauh dengan mencoba melihat bagaimana praktik politik birokrasi
pendidikan, politik anggaran pendidikan, politik pemerataan pendidikan, politik
peningkatan kualitas pendidikan, politik kebijakan UAN, dan politik kurikulum,
yang kesenua itu merupakan alat politik pendidikan nasional sehingga dari sana
kita memperoleh gambaran tentang keberhasilan atau kegagalan dari politik pendidikan
nasional. Ukuran keberhasilan dan kegagalan tersebut adalah apakah sesuai
niatan, tujuan pendidikan nasional dengan kenyataan yang ada, apakah rasional
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Demikianlah
yang hendak penulis hadirkan dalam buku ini. Kiranya ikhtiar ini tidak lain dan
bukan hanya bertujuan dan berniatan baik memperbaiki kondisi pendidikan
nasional, meminjam istilahnya Darmaningtyas, pendidikan nasional yang dalam
kondisi rusak-rusakan. Kiranya ikhtiar ini memiliki harapan semoga berkenan
pada semua pihak dan bisa memberikan sumbangsihnya bagi kemajuan dan perbaikan
pendidikan nasional.
BAB III
PENUTUP
Pendidikan
merupakan salah satu alat politik dalam suatu negara, untuk menghimpun kekuatan
bagi sang penguasa, dalam
perjalananya pendidikan sangat di
pengaruhi oleh penguasa, sehingga pendidikan tidak dapat berkembang sacara
optimal. Seharusnya, politik pendidikan atau kebijakan politik pendidikan
nasional membuat situasi pendidikan semakin maju, berkualitas dan dapat
dirasakan semua lapisan masyarakat. Sejelek apapun kondisi pendidikan nasional
kita, tugas kita sebagai pendidik adalah memperbaikinya dengan segala kemampuan
dan kapasitas masing-masing. Pemerintah juga harus mau bekerja sama dengan fihak-fihak yang
kompeten dibidangnya dan mau menerima saran dan kritik guna perbaikan situasi
pendidikan nasional kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggai. Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka. Pelajar, 2006.
Abdullah, Irwan, dkk. Agama, Pendidikan Islam, dan Tanggung jawab social Pesantren.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Abidin, Said Zainal. Kebijakan Publik. Jakarta: Suara Bebas, 2006
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos 1999.
Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Suka Press, 2007.
Freire,
Paulo.1999.Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
Diterjemahkan oleh : Agung Prihantoro & Fuad Arif Fudiyanto.Yogyakarta :
ReaD & Pustaka Pelajar
Imron, Ali. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Jalal, F & Supriadi, D. (Ed). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks otonomi
Daerah. Yogyakarta: Depdiknas, Bappenas, Adicita Karya Nusa, 2001.
Khozin. Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press, 2006.
Mulyono. Konsep
Pembiayaan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010.
Osberg, Deborah dan Biesta, Gert. Complexity Theory and the Politics Of
Education. Rotterdam: Sense Publisher, 2010.
Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Dokumentasi Undang-Undang dan Kebijakan
Pendidikan.
UUD 1945 dan Pancasila.
[1] Mirriam Budiharjo, Dasar- Besar dasar Ilmu
Politik, (Jakarta : Gramedia, 1971), hlm. 10-11, 13
[2] Fauzan, “Pendidikan sebagai Pembentuk Manusia
Berkualitas”, dalam Ali Muhdi Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan
Nasional, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007), hlm. 36-37.
[3] Y. Dedy Pradipto, Belajar Sejati Versus
Kurikulum Nasional, (Yogyakarta : Kanisius, 2007), hlm. 24.
[4] HAR Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang
: Indonesia Tera, 2003), hlm. 62-64.
[5] M.Sirozi, Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan Antara Kepentingan
Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Rajawali
Press, 2010), hlm. 4.
[11] Ibid., hlm. 147-148.
[12] Ibid., hlm. 151-152.
[13] Ki Supriyoko, Hakikat Politik Pendidikan
Nasional, dalam Ali Muhdi Amnur (ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional,
(Yogyakarta: Pusat Fahima, 2007), hlm. 5.
[14] Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai
Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997), hlm. 108,
110, 114-115.
Komentar
Posting Komentar